Smada
: Ikatan Keluarga, dan Laut yang Menempaku
“Berpamitan
berangkat ke sekolah, tetapi tak pernah ada dikelas. Tas yang seharusnya ada di
bangku kelas XI IPA 3 malah ada di ruang OSIS. Ibarat seminggu itu ada 6 hari
masuk sekolah, mungkin hanya sehari aku masuk sekolah, itulah dispensasi(bahasa
halusnya bolos)”
Tentang OSIS : Keluarga abadi yang
mengajarkan ketangguhan
Aku benar
– benar merasa tak masuk akal ketika menginjak kelas 11 SMA. Hakikatnya orang
tua mengirimku ke sekolah adalah untuk sekolah, namun yang kulakukan adalah
merusak peraturan sekolah dengan dispensasi bolos sekolah yang kubuat dengan
anak – anak OSIS sendiri. Aku merasa tak masuk akal ketika aku diberi uang oleh
sekolah 25 juta, tetapi acara – acara yang kutargetkan hampir mencapai seratus
juta. Karena ketidakmasukakalan tersebut, aku semakin berpikir masih bisakah
aku sekolah dengan tenang? sedangkan aku harus berpikir untuk acara – acara
yang kubuat di OSIS dengan anggaran yang defisit hampir 75 juta. Disinilah aku
mulai berani mengambil jalan hidupku untuk berjuang meninggalkan kewajibanku
sebagai pelajar. Jelas taruhannya adalah masa depanku, aku yang semakin hari
semakin bodoh, sedangkan teman – temanku yang dapat bersekolah dengan normal,
mereka semakin hari semakin jauh meninggalkanku.
Akhir –
akhir ini aku baru sadar manfaat ketika aku dulu meninggalkan kelas untuk satu
tujuan penting. Aku dan teman – teman OSISku benar – benar menjadi pribadi yang
lebih kuat dibanding anak – anak seusiaku. Memang kami adalah kambing hitam di
kegiatan kami. Tidak pernah dipuji ketika kegiatan kami sukses, dan menjadi
bahan cemo’oh ketika kegiatan kami gagal. Tapi hal itu benar – benar membuat
kami menjadi orang yang tangguh. Kalau orang biasa lelah ketika disuruh
mengerjakan tugas 6 jam, kami tidak selelah mereka. Karena kami pernah 24 jam
tidak tidur hanya untuk menyelesaikan proposal dan berkas – berkas kegiatan.
Jika orang biasa bingung ketika harus lembur mengerjakan tugas dan menginap di
kampus, kami sudah biasa ketika menggarap karnaval Kabupaten untuk 7 hari siang
dan malam tidak pulang ke rumah untuk mengerjakan tugas menghias mobil karnaval
di sekolah.
Satu hal
dalam kepengurusan OSIS yang tak pernah kulupakan adalah ketika aku sering
berbeda pendapat dengan guru – guru. Terutama mengenai suatu kegiatan yang kami
percaya bisa terlaksana, namun pihak guru tidak menyetujuinya. Aku adalah
tukang protes, apa yang menurutku ideal harus terlaksana, jika tidak terlaksana
aku akan protes. Itulah pribadiku, pribadi orang berkepala granit yang lebih
keras daripada kepala batu. Bahkan aku pernah mengerahkan teman – teman OSIS
untuk bersama – sama memprotes kebijakan guru di rumahnya(demonstrasi kecil –
kecilan), sebuah cara yang umumnya tak pernah dilakukan oleh anak SMA.
Menurutku, kebenaran adalah hal yang harus dijunjung setinggi – tingginya. Memang jika kita memilih jalan yang jujur,
hidup kita akan dihadang oleh batu – batu yang terjal. Tak jarang kita jatuh
tersungkur. Kita hanya memiliki pilihan bangkit lagi dan meneruskan perjalanan,
atau berjalan mundur ke belakang. Kalau aku, aku akan tetap berjalan ke depan
meskipun itu terjal, karena aku adalah granit yang lebih keras daripada
bebatuan terjal.
Pada
intinya pilihan menjadi pengurus OSIS Smada adalah pilihan yang sangat
berisiko. Pilihan yang tak populer, pilihan yang mengancam masa depan. Tapi
satu prinsip yang menguatkan kami. “pelaut yang hebat tidak pernah dilahirkan
di laut yang tenang”. Kami adalah para pelaut yang ditakdirkan mendapat laut –
laut yang buas, ombak – ombak yang ganas, dan karang - karang yang terjal
ketika menapak. Kami memilih untuk menghabiskan waktu kami untuk berdiskusi,
berorganisasi, berhubungan dengan masyarakat, dan mencari sponsor yang kata
orang itu membuang waktu. Tapi aku yakin kami adalah orang – orang yang akan
menjadi pelaut yang tangguh di masa depan, generasi pemimpin bangsa yang
tangguh.
Kehidupan akademis : dua tahun menjadi
hipokrit/munafik
aku adalah
siswa SMAN 2 Nganjuk kelas XI IPA 3. Banyak orang yang menganggap jika anak
yang masuk dalam jurusan IPA di SMADA adalah anak yang pintar. Sebenarnya
inilah titik kebobrokan dari masyarakat Indonesia, IPA seakan – akan
dikonstruksikan sebagai jurusan yang superior, jika masuk IPA masa depanmu akan
terjamin, jika masuk jurusan IPS dan Bahasa masa depanmu akan terkatung –
katung. Begitu kuatnya doktrin ini sehingga aku menjadi terpengaruh untuk masuk
jurusan IPA. Padahal jelas – jelas passionku di bidang sosial humaniora. Hal
ini benar – benar membuatku hanya menjadi pecundang di kelas. Hanya bisa menjadi
rata – rata, hanya dapat bertengger di peringkat tengah. Aku merasa menjadi
orang yang sangat munafik ketika itu. Aku selalu dicemooh guru gara – gara
nilai ulanganku yang selalu jelek dalam mata pelajaran IPA.
Aku benar
- benar tidak menikmati ketika kelas XI. Aku benar – benar merasa sakit hati
hampir setiap hari aku diremehkan guru – guru karena nilaiku yang tak kunjung
membaik. Saat itulah aku bersumpah aku akan membalas dendam pada semua
cemo’ohan itu. aku bersumpah akan menunjukan aku bisa masuk di perguruan tinggi
favorit dan mengalahkan teman – temanku yang sering mendapat pujian dari
guruku. Aku berprinsip cara membalas dendam yang terbaik adalah dengan
membuktikan bahwa “I’am not as you think, and I have more abilities than
others”.
Suatu hari
pada saat awal kelas XII aku datang ke ruang BK untuk mencari informasi tentang
pilihan mengenai jurusan. Waktu itu aku benar – benar buta tentang dunia
perkuliahan, bahkan aku baru tahu bahwa UI dan ITB adalah perguruan tinggi
favorit ketika aku kelas XII. Impian masa SMP ku adalah ketika saat kuliah
nanti aku mengambil jurusan kesenian di ITS. Oh betapa bodoh dan polosnya aku jelas – jelas ITS itu institut teknologi
yang mengembangkan ilmu dibidang teknologi. Saat aku melihat pilihan jurusan,
aku benar – benar belajar dari kesalahan untuk tidak mengambil jurusan yang aku
tidak suka. Aku tak mau lagi menyesal dalam kemunafikan seperti saat aku harus
belajar IPA yang sebenarnya tak kusukai.
Akhirnya
pilihanku jatuh pada dua program studi yaitu HI dan Antropologi. Pada saat tahunku
anak yang dapat mengikuti SNMPTN Undangan (semacam PMDK) adalah yang 50%
peringkat atas dan harus konsisten, aku tidak termasuk dalam kuota tersebut
karena nilai kelas XI ku benar – benar hancur. Oleh karena itu tak ada jalan
lain selain mengikuti ujian tulis
SNMPTN. Dari situ aku mulai belajar lagi pelajaran IPS. Mulai dari itu perasaan
kebencian terhadap kecemo’ohan kukonversikan menjadi semangat balas dendam.
Jika anak – anak tekun memperhatikan ketika guru ketika menerangkan fisika aku
malah membuka buku sejarah ataupun ekonomi yang kubawa dari rumah untuk kubaca.
Tasku tak pernah meninggalkan buku – buku IPS untuk kubaca. Kemanapun aku
pergi, buku – buku itu selalu kubawa.
Akhirnya
usahaku membuahkan hasil, aku diterima di salah satu perguruan tunggi
terfavorit di Indonesia. Aku sekarang adalah mahasiswa Universitas Indonesia,
jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Inilah wujud balas
dendamku yang kukonversi menjadi energi kebaikan. Aku tak perlu belajar sekeras
dulu untuk mendapatkan nilai yang baik, mungkin inilah kekuatan passion. Aku disini juga sering bertemu dan berdiskusi
pada acara seminar dengan orang – orang besar semacam Dahlan Iskan, Adyaksa
Dault, Joko Widodo, Chairul Tanjung dsb.
Tetapi satu yang tak pernah berubah dariku dari
dulu yaitu suka bolos dan suka protes. Aku masih sering bolos di mata kuliah
yang kurasa kurang menunjang/dosennya kurang kompeten. Aku lebih senang bolos
pada mata kuliah tersebut untuk membaca buku – buku berkualitas di kos – kosan.
Menurutku kuliah yang terlalu terkotak – kotak dengan sistem hanya akan membuat
otakmu jadi robot, yang pada akhirnya cuman bisa dicetak menjadi karyawan –
karyawan/robot perusahaan. Aku juga suka
protes ketika dosenku salah menerangkan. Meskipun akhirnya berdampak pada nilai
yang kudapat. Aku benci teman – temanku yang pengecut, yang tak pernah
memprotes guru ketika salah. Mereka itu merasionalisasikan kepengecutan sebagai
kepatuhan. Mereka pura – pura patuh untuk mendapat nilai yang bagus. Inilah
sebenarnya bibit – bibit kemunafikan yang bersemi dalam pendidikan kita. Inilah
potret – potret pelacur akademis yang hanya mencari nilai saja. Jika aku
menjadi guru, aku akan berikan muridku yang terbodoh mendapat nilai 95. Supaya apa? Supaya anak – anak tahu
betapa tidak berharganya nilai (dibandingkan ilmu pengetahuan).
Akhir kata
aku hanya bisa berpesan sedikit pada kalian teman – teman. Orang munafik
sejatinya tak akan pernah dihargai, orang munafik hanyalah memiliki kebahagiaan
semu atas sebuah gengsi, dan orang munafik paling mentok bakal jadi karyawan.
kalau ada orang munafik sukses itu karena tuhan terlalu baik (maha baik). Orang
yang terlalu patuh, rajin dan teratur dalam sistem hanya akan menjadi budak –
budak borjuis(pemilik perusahaan/modal), robot – robot perusahaan, dan karyawan
bergaji rendah sampai menengah. Juara kelas bukanlah indikator kehebatan
seseorang secara mutlak. Tetapi semangat berkaryalah yang enjadi kunci keberhasilan.
Thomas alva edison tak perlu sekolah
untuk bisa menemukan lampu pijar, Einstein juga tak pernah menjadi mahasiswa
yang rajin masuk kuliah untuk menemukan teori relativitas khusus. Mereka besar
karena kerja keras, disiplin, ulet, mempunyai prinsip, tak gentar bersaing,
pantang menyerah dan selalu berkarya.
“Dulu ketika aku
SMA saat ulangan temanku mendapat nilai hampir sempurna di semua mata
pelajaran, aku selalu dibawahnya. Tetapi sekarang dia adalah mahasiswa di salah
satu pergguruan tinggi, sedangkan aku adalah mahasiswa di perguruan tinggi favorit ”
Maaf jika
tulisan ini mungkin agak sombong, hakikatnya membagikan cerita inspirasi ke
orang lain harus menceritakan tentang kebaikan diri sendiri yang jelas akan
sangat sulit untuk mengkonversikan dalam tulisan yang lebih rendah hati.
Semoga teman – teman dapat mengambil
sisi baiknya dari tulisan ini. Salam sukses!
Depok, 30 April 2013
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
ceritanya osis hampir sama seperti saya bro!
ReplyDelete