I don't want a lot of things. I just want to invite you to think together!

Pages

Sunday 1 June 2014

Kebudayaan Jawa dalam Kajian Bahasa Kebudayaan dan Kognisi



Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Mahasiswa Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Universitas Indonesia, Depok 16424

Abstrak
Tulisan ini membahas tentang realitas budaya Jawa yang terkandung melalui bahasanya, serta penjelasan mengenai nilai budaya dasar Jawa yang diwakili dengan konsep sungkan. Pada sub bab dua juda dibahas jancuk sebagai tembung kasar yang memiliki variasi perbedaan makna secara regional dari daerah kebudayaan jawa umumnya. Serta yang terakhir adalah pembahasan mengenai transformasi nilai budaya jawa dengan menggunakan analisis pendekatan marxist. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan gejala – gejala unik dan perubahan budaya Jawa yang aktual. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis bahasa kebudayaan dan kognisi. Hasil dari tulisan ini adalah memberi pengertian tentang nilai kebudayaan Jawa, mengetahui fenomena – fenomena yang unik dalam komuniti Jawa serta mengetahui transformasi budaya Jawa yang aktual sekarang ini.

Kata kunci : bahasa, makna, transformasi, komuniti

Abstract
This paper discusses the inherent reality of Javanese culture through its language, as well as an explanation of the basic cultural values ​​are represented by the concept of Java hesitate. In section two jancuk also often discussed as a tembung kasar variation differences that have regional significance of cultural regions of Java in general. As well as the latter is a discussion of the cultural value of Java transformation using Marxist analysis approach. This paper aims to find unique symptoms and actual changes in Javanese culture. The methodology used was a qualitative approach to the analysis of the language of culture and cognition. The results of this paper is to provide an understanding of the value of Javanese culture, knowing a unique phenomenon in the local community as well as the Java know the actual transformation of Javanese culture today.

Keywords : language, meaning, transformation, local community


Nilai Budaya Jawa dalam Realitas Dunianya

Pada tulisan ini saya akan melihat kebudayaan Jawa melalui analisis bahasa kebudayaan dan kognisi. Menurut Bart, jika kita ingin mendefinisikan suatu kebudayaan, maka kebudayaan tersebut minimal harus didefinisikan dengan dua kebudayaan berbeda. Dalam kerangka berfikir ini saya ingin melihat kebudayaan Jawa dari sudut pandang saya sebagai orang Indonesia (penutur bahasa Indonesia). Tentu ada perbedaan secara kognitif yang tercermin dari realitas bahasa yang digunakan antara bahasa jawa dan bahasa Indonesia. Realitas ini tercermin dalam kandungan pemaknaan dalam pendefinisian bahasa itu sendiri.

Berangkat dari Hipotesis Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita. Saya melihat ada perbedaan nilai yang mendasar antara kebudayaan Jawa dan kebudayaan nasional Indonesia. Jika dalam kebudayaan penutur nasional bahasa lebih cenderung didefinisikan secara egaliter dan setara, karena memang dalam kebudayaan nasional tidak dikenal hierarki bahasa. Berbeda dalam kebudayaan jawa yang dikenal hierarki bahasa dengan istilah bahasa kromo dan bahasa ngoko. Bahasa kromo yang penggunaannya identik dengan ciri kelas atas yang terdiri dari kaum bangsawan, orang kaya, orang berpangkat, orang yang lebih tua orang berpendidikan dan status sosial yang dianggap tinggi lainnya. Hal ini tentu sangat kontras dengan bahasa ngoko yang umumnya digunakan oleh wong cilik, orang yang lebih muda, berpangkat rendah, dan status sosial yang dianggap rendah lainnya.

Untuk menggali nilai budaya Jawa yang mendasar, saya terinspirasi dari karya etnografi Ruth Benedict tentang Jepang saat perang dunia dua. Dalam buku “The Chrysanthemum and the Sword”, diceritakan bahwa bangsa jepang memiliki nilai budaya ong (perasaan hutang dan cinta kasih kepada dunia). Nilai budaya inilah yang membentuk karakter bangsa Jepang di segala aspek. Misalnya dalam kata arigatou, jika kata ini diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia maka kata ini memiliki arti “terimakasih”. Namun dalam penerjemahannya tidak bisa begitu saja diterjemahkan secara bebas, karena kata ini memiliki arti terimakasih sekaligus ong atau hutang, dalam artian ketika seseorang menerima kebaikan orang lain sesungguhnya dia menerimanya dengan berat hati karena menganggap itu sebagai sebuah hutang yang harus dibayar. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan kata thank you dalam bahasa inggris yang dapat diartikan hanya sekedar terimakasih.

Dalam konteks kebudayaan jawa, saya juga melihat ada suatu nilai yang melekat kuat pada etiket orang Jawa. Nilai budaya yang melekat ini adalah adanya konsep “sungkan” dalam kebudayaan Jawa. Konsep sungkan ini memiliki arti “rasa tidak enak, rasa menghormati, rendah hati yang diekspresikan lewat parabahasa seperti membungkuk dengan kepala menghadap kebawah dan seringkali disertai dengan ekspresi manggut – manggut”. Jadi ketika seorang berkebangsaan Jawa mengucapkan matursuwun maka makna yang terkandung dalam sistem kognisi budaya Jawa tidak hanya rasa berterimakasih, namun ada perasaan sungkan (tidak enak, menganggap merepotkan, menghormati dan merendahkan diri). Konsep sungkan tidak hanya ada pada kata terimakasih, namun ada di setiap segi kehidupan orang Jawa. Dalam tutur kata, tegur sapa, bercengkrama, berbincang formal maupun santai, etiket ini umumnya tetap dipertahankan oleh orang jawa.

Makna sungkan ini menurut saya adalah makna budaya. Dimana suatu makna sungkan ini sebenarnya dibentuk oleh struktur ekstrapersonal, yaitu lingkungan orang Jawa yang hierarkis yang menempatkan dikotomi antara bangsawan dan rakyat jelata. Secara langsung ini mempengaruhi bagaimana rakyat jelata berkomunikasi dengan bangsawan yang membentuk struktur interpersonal dari makna sungkan. Hubungan timbal balik antara kedua struktur yang saling menguatkan ini semakin memantapkan skema. Kestabilan struktur mengakibatkan makna yang kurang lebih sama muncul berulang kali sehingga terciptalah suatu makna budaya sungkan yang dikonstruksikan sebagai persamaan dalam pengalaman hidup (cultural as shared meanings).

Akan tetapi jika dikaitkan dengan konteks budaya Jawa saat ini yang sudah semakin egaliter (penggunaan bahasa kromo yang semakin jarang) meyebabkan adanya rangsangan baru modifikasi pada skema yang digunakan, dengan kata lain ada goncangan terhadap struktur. Skema interaksi antara bangsawan dan rakyat jelata yang semakin kurang dipentingkan menyebabkan terjadinya perubahan struktur, dengan kata lain struktur lama tidak sesuai dengan keadaan yang dihadapi sekarang ini.

Jancuk Sebagai Satuan Morfem yang Berbeda Makna

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai jancuk, saya akan menjelaskan status ontologis dari jancuk sendiri. jancuk adalah tembung kasar (kata – kata kasar) yang dipakai orang Jawa untuk menghina atau memaki – maki seseorang. Secara etimologis jancuk sendiri memiliki dua fonemik yang terkenal yaitu dancuk yang banyak dituturkan oleh masyarakat Madiun ke barat, dan jancuk yang banyak dituturkan oleh masyarakat Jombang ke timur. Sebenarnya tidak ada batas yang tegas tentang fonem ini, namun kita seringkali menjumpai kenyataan lapangan yang demikian. Menurut budayawan Sudjiwo Tedjo jancuk memiliki spektrum yang lebih luas daripada kata – kata kotor seperti fuck, bajigur, cukimay dan lain – lain. Ini berarti kata jancuk tidak bisa didefinisikan secara jelas artinya, kita hanya tahu kata ini adalah kata yang sangat kasar yang berarti memiliki makna penghinaan.

Sangat minimnya sumber tentang penelitian tembung kasar ini membuat saya kesulitan untuk mencari referensi, akan tetapi pengalaman lapangan sebagai orang Jawa Timur sangat membantu saya dalam menjelaskan fenomena ini. Dalam bahasa Jawa karena sangking kasarnya kata ini, kata ini tidak bisa diklasifikasikan dalam bahasa kromo maupun ngoko. Hal yang unik yang membuat saya tergelitik untuk meneliti fenomena ini adalah adanya perbedaan makna Jancuk dalam kebudayaan Jawa secara umum dengan kebudayaan Jawa regional tertentu, khusunya daerah Surabaya. Seperti yang kita tahu daerah Surabaya memiliki kebudayaan Jawa yang sangat khas, yang diprediksi banyak terpengaruh oleh kebudayaan Madura di utara. 

Dalam keseharian, jika orang Surabaya mengatakan jancuk, maknanya bisa sangat berbeda dengan kebudayaan Jawa umumnya. Disini jancuk bisa diartikan sebagai “sayang, guys, teman” maupaun panggilan akrab lainnya. Bukankah aneh dalam satu kebudayaan yang sama, memiliki realita yang berbeda pada penafsiran makna suatu kata? Bukankah jika menurut Sapir dan Whorf realitas budaya adalah bahasa, maka cukup aneh bila ternyata dalam kebudayaan Jawa memiliki makna berbeda dalam bahasanya. 

Sebenarnya fenomena ini tidak begitu aneh, dalam kajian bahasa kebudayaan dan kognisi sering dibahas pula mengenai komuniti dan variasi. Jika menurut teori yang sudah ada, fenomena jancuk ini dapat dianggap sebagai suatu slang. Slang berfungsi menciptakan batas – batas sosial secara jelas antara komuniti satu dengan yang lainnya. Tentu saja slang ini hanya dapat dipakai dalam satu komuniti yang menyepakati penggunaan slang ini. Kongkritnya slang jancuk yang diartikan sebagai sapaan teman, sahabat, atau sayang hanya berlaku pada daerah – daerah komuniti tertentu, khususnya Surabaya. Ketika kita mencoba menggunakan slang ini diluar variasi komuniti Surabaya, maknanya akan bisa sangat berbeda, misalnya ketika seorang Surabaya mengucapkan kata jancuk di Jogjakarta akan menjadi masalah, karena di Jogja kata jancuk dianggap tembung kasar yang tabu untuk diucapkan.

Jika berbicara tentang kebudayaan dan makna, mungkin kita perlu mengacu kepada konsep intersubjectively shared yang kira – kira berbunyi  “tidak cukup saya dan dia tahu, namun saya harus tahu kalau dia tahu dan dia harus tahu kalau saya tahu”. Dengan kata lain penggunaan kata jancuk ini benar – benar bukan hanya sekedar shared culture yang dimiliki bersama, namun juga dapat dimaknai antar individu yang relevan, sehingga makna struktur ekstrapersonal dan interpersonal bersesuaian. Tanpa intersubjectely shared akan terjadi kesalahpahaman, karena perbedaan makna yang terkandung pada sebuah komuniti.

Transformasi Nilai – Nilai Egaliter Masyarakat Jawa Modern

Seperti yang kita tahu saat ini, suku bangsa Jawa banyak mengalami perubahan sosial dan modernitas dalam segala aspek. aspek yang paling kentara dalam perubahan masyarakat Jawa adalah perubahan sistem ekonomi. Ada kecenderungan pengalihan sistem kerja dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Masyarakat Jawa yang sekarang bekerja di suatu perusahaan umumnya memiliki struktur berdasarkan organisasi keahlian masing – masing. Dengan analis pendekatan marxist berarti disini kita melihat ada perubahan dalam modus produksi yang terletak pada base. Seperti yang kita tahu, perubahan dalam base akan mempengaruhi superstructure. Dalam konteks ini, base adalah sistem ekonomi atau modus produksi, sedangkan superstrukturnya bahasa.

Dalam lingkungan kerja yang semakin organis, masyarakat Jawa dalam penerapanya cenderung mulai meninggalkan struktur hierarkis feodal seperti dikotomi bangsawan – rakyat cilik. Sebagai gantinya lingkungan kerja modern menyajikan bentuk yang lebih egaliter. Hal ini menyebabkan penggunaan bahasa hierarkis jawa yaitu kromo – ngoko menjadi semakin kabur. Sehingga pada penerapan dilapangan hierarki bahasa menjadi tidak begitu penting, dengan kata lain bahasa kromo menjadi bahasa yang jarang digunakan dalam lingkungan kerja. Umumnya lingkungan kerja lebih menggunakan bahasa nasional Indonesia ataupun hanya bahasa ngoko yang lebih egaliter.

Struktur hierarkis yang menjadi kurang relevan disini, menyebabkan semakin sedikitnya penutur yang fasih dalam berbahasa kromo, karena dalam kesehariannya juga menjadi kurang dipentingkan. Seperti yang kita tahu dalam analisis  marxist yang namanya base akan mempengaruhi superstructure, namun dalam keadaan yang sudah berjalan superstructure akan mengendalikan base. Hal ini juga terjadi dalam masyarakat modern Jawa. Karena perkembangan lingkungan kerja yang semakin organis, menyebabkan bahasa yang dipakai cenderung egaliter (menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa). Penggunaan bahasa Indonesia dan Jawa ngoko ini menjadi suatu bahasa yang mempengaruhi bidang – bidang dasar. Dalam realitanya pengajaran orang tua ke anak mengenai bahasa juga memiliki kecenderungan untuk mengurangi porsi bahasa kromo, sehingga generasi penerusnya semakin kurang memahami dunia hierarkis Jawa. Jawa yang mereka kenal sekarang lebih sebagai budaya Jawa yang egaliter yang sesuai dengan konteks jamannya.


 
 
 Referensi
Koentjaraningtrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Eriksen, Thomas Hylland. 2010. Ethnicity and Nationalism. New York: Pluto Press

NB : Teori Bahasa Kebudayaan dan Kognisi berasal dari catatan kuliah.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

1 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Angkringan Intelektual
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top