Chairul Anam Bagus
Haqqiasmi
Mahasiswa Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
politik, Universitas Indonesia, Depok 16424
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang
realitas budaya Jawa yang terkandung melalui bahasanya, serta penjelasan
mengenai nilai budaya dasar Jawa yang diwakili dengan konsep sungkan. Pada sub
bab dua juda dibahas jancuk sebagai tembung kasar yang memiliki variasi
perbedaan makna secara regional dari daerah kebudayaan jawa umumnya. Serta yang
terakhir adalah pembahasan mengenai transformasi nilai budaya jawa dengan
menggunakan analisis pendekatan marxist. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan
gejala – gejala unik dan perubahan budaya Jawa yang aktual. Metodologi yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis bahasa kebudayaan dan
kognisi. Hasil dari tulisan ini adalah memberi pengertian tentang nilai
kebudayaan Jawa, mengetahui fenomena – fenomena yang unik dalam komuniti Jawa
serta mengetahui transformasi budaya Jawa yang aktual sekarang ini.
Kata kunci : bahasa, makna, transformasi,
komuniti
Abstract
This paper discusses the inherent reality of Javanese
culture through its language, as well as an explanation of the basic cultural
values are represented by the concept of Java hesitate. In section two jancuk
also often discussed as a tembung kasar variation differences that have
regional significance of cultural regions of Java in general. As well as the
latter is a discussion of the cultural value of Java transformation using
Marxist analysis approach. This paper aims to find unique symptoms and actual
changes in Javanese culture. The methodology used was a qualitative approach to
the analysis of the language of culture and cognition. The results of this
paper is to provide an understanding of the value of Javanese culture, knowing
a unique phenomenon in the local community as well as the Java know the actual
transformation of Javanese culture today.
Keywords : language, meaning, transformation, local community
Nilai Budaya Jawa dalam
Realitas Dunianya
Pada tulisan ini saya
akan melihat kebudayaan Jawa melalui analisis bahasa kebudayaan dan kognisi.
Menurut Bart, jika kita ingin mendefinisikan suatu kebudayaan, maka kebudayaan tersebut
minimal harus didefinisikan dengan dua kebudayaan berbeda. Dalam kerangka
berfikir ini saya ingin melihat kebudayaan Jawa dari sudut pandang saya sebagai
orang Indonesia (penutur bahasa Indonesia). Tentu ada perbedaan secara kognitif
yang tercermin dari realitas bahasa yang digunakan antara bahasa jawa dan
bahasa Indonesia. Realitas ini tercermin dalam kandungan pemaknaan dalam
pendefinisian bahasa itu sendiri.
Berangkat dari Hipotesis
Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh
bahasa dalam budaya kita. Saya melihat ada perbedaan nilai yang mendasar antara
kebudayaan Jawa dan kebudayaan nasional Indonesia. Jika dalam kebudayaan
penutur nasional bahasa lebih cenderung didefinisikan secara egaliter dan
setara, karena memang dalam kebudayaan nasional tidak dikenal hierarki bahasa.
Berbeda dalam kebudayaan jawa yang dikenal hierarki bahasa dengan istilah
bahasa kromo dan bahasa ngoko. Bahasa kromo yang penggunaannya identik dengan
ciri kelas atas yang terdiri dari kaum bangsawan, orang kaya, orang berpangkat,
orang yang lebih tua orang berpendidikan dan status sosial yang dianggap tinggi
lainnya. Hal ini tentu sangat kontras dengan bahasa ngoko yang umumnya
digunakan oleh wong cilik, orang yang lebih muda, berpangkat rendah, dan status
sosial yang dianggap rendah lainnya.
Untuk menggali nilai budaya Jawa yang mendasar, saya terinspirasi dari
karya etnografi Ruth Benedict tentang Jepang saat perang dunia dua. Dalam buku “The Chrysanthemum and the Sword”,
diceritakan bahwa bangsa jepang memiliki nilai budaya ong (perasaan hutang dan cinta kasih kepada dunia). Nilai budaya
inilah yang membentuk karakter bangsa Jepang di segala aspek. Misalnya dalam
kata arigatou, jika kata ini
diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia maka kata ini memiliki arti “terimakasih”. Namun dalam
penerjemahannya tidak bisa begitu saja diterjemahkan secara bebas, karena kata
ini memiliki arti terimakasih sekaligus ong
atau hutang, dalam artian ketika seseorang menerima kebaikan orang lain
sesungguhnya dia menerimanya dengan berat hati karena menganggap itu sebagai
sebuah hutang yang harus dibayar. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan kata
thank you dalam bahasa inggris yang
dapat diartikan hanya sekedar terimakasih.
Dalam konteks kebudayaan jawa, saya juga melihat ada suatu nilai yang
melekat kuat pada etiket orang Jawa. Nilai budaya yang melekat ini adalah
adanya konsep “sungkan” dalam
kebudayaan Jawa. Konsep sungkan ini
memiliki arti “rasa tidak enak, rasa menghormati, rendah hati yang
diekspresikan lewat parabahasa seperti membungkuk dengan kepala menghadap
kebawah dan seringkali disertai dengan ekspresi manggut – manggut”. Jadi ketika
seorang berkebangsaan Jawa mengucapkan matursuwun
maka makna yang terkandung dalam sistem kognisi budaya Jawa tidak hanya rasa
berterimakasih, namun ada perasaan sungkan
(tidak enak, menganggap merepotkan, menghormati dan merendahkan diri). Konsep sungkan tidak hanya ada pada kata
terimakasih, namun ada di setiap segi kehidupan orang Jawa. Dalam tutur kata,
tegur sapa, bercengkrama, berbincang formal maupun santai, etiket ini umumnya
tetap dipertahankan oleh orang jawa.
Makna sungkan ini menurut saya adalah makna budaya. Dimana suatu makna
sungkan ini sebenarnya dibentuk oleh struktur ekstrapersonal, yaitu lingkungan
orang Jawa yang hierarkis yang menempatkan dikotomi antara bangsawan dan rakyat
jelata. Secara langsung ini mempengaruhi bagaimana rakyat jelata berkomunikasi
dengan bangsawan yang membentuk struktur interpersonal dari makna sungkan. Hubungan timbal balik antara
kedua struktur yang saling menguatkan ini semakin memantapkan skema. Kestabilan
struktur mengakibatkan makna yang kurang lebih sama muncul berulang kali
sehingga terciptalah suatu makna budaya sungkan yang dikonstruksikan sebagai
persamaan dalam pengalaman hidup (cultural
as shared meanings).
Akan tetapi jika dikaitkan dengan konteks budaya Jawa saat ini yang sudah
semakin egaliter (penggunaan bahasa kromo yang semakin jarang) meyebabkan
adanya rangsangan baru modifikasi pada skema yang digunakan, dengan kata lain
ada goncangan terhadap struktur. Skema interaksi antara bangsawan dan rakyat
jelata yang semakin kurang dipentingkan menyebabkan terjadinya perubahan
struktur, dengan kata lain struktur lama tidak sesuai dengan keadaan yang
dihadapi sekarang ini.
Jancuk Sebagai Satuan Morfem
yang Berbeda Makna
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai jancuk, saya akan menjelaskan status ontologis dari jancuk sendiri. jancuk adalah tembung kasar
(kata – kata kasar) yang dipakai orang Jawa untuk menghina atau memaki – maki
seseorang. Secara etimologis jancuk
sendiri memiliki dua fonemik yang terkenal yaitu dancuk yang banyak dituturkan oleh masyarakat Madiun ke barat, dan jancuk yang banyak dituturkan oleh
masyarakat Jombang ke timur. Sebenarnya tidak ada batas yang tegas tentang
fonem ini, namun kita seringkali menjumpai kenyataan lapangan yang demikian.
Menurut budayawan Sudjiwo Tedjo jancuk
memiliki spektrum yang lebih luas daripada kata – kata kotor seperti fuck, bajigur, cukimay dan lain – lain.
Ini berarti kata jancuk tidak bisa
didefinisikan secara jelas artinya, kita hanya tahu kata ini adalah kata yang
sangat kasar yang berarti memiliki makna penghinaan.
Sangat minimnya sumber tentang penelitian tembung kasar ini membuat saya kesulitan untuk mencari referensi,
akan tetapi pengalaman lapangan sebagai orang Jawa Timur sangat membantu saya
dalam menjelaskan fenomena ini. Dalam bahasa Jawa karena sangking kasarnya kata
ini, kata ini tidak bisa diklasifikasikan dalam bahasa kromo maupun ngoko. Hal
yang unik yang membuat saya tergelitik untuk meneliti fenomena ini adalah
adanya perbedaan makna Jancuk dalam kebudayaan Jawa secara umum dengan
kebudayaan Jawa regional tertentu, khusunya daerah Surabaya. Seperti yang kita
tahu daerah Surabaya memiliki kebudayaan Jawa yang sangat khas, yang diprediksi
banyak terpengaruh oleh kebudayaan Madura di utara.
Dalam keseharian, jika orang Surabaya mengatakan jancuk, maknanya bisa sangat berbeda dengan kebudayaan Jawa
umumnya. Disini jancuk bisa diartikan
sebagai “sayang, guys, teman” maupaun panggilan akrab lainnya. Bukankah aneh
dalam satu kebudayaan yang sama, memiliki realita yang berbeda pada penafsiran
makna suatu kata? Bukankah jika menurut Sapir dan Whorf realitas budaya adalah
bahasa, maka cukup aneh bila ternyata dalam kebudayaan Jawa memiliki makna
berbeda dalam bahasanya.
Sebenarnya fenomena ini tidak begitu aneh, dalam kajian bahasa kebudayaan
dan kognisi sering dibahas pula mengenai komuniti dan variasi. Jika menurut teori
yang sudah ada, fenomena jancuk ini
dapat dianggap sebagai suatu slang. Slang berfungsi menciptakan batas – batas
sosial secara jelas antara komuniti satu dengan yang lainnya. Tentu saja slang
ini hanya dapat dipakai dalam satu komuniti yang menyepakati penggunaan slang
ini. Kongkritnya slang jancuk yang
diartikan sebagai sapaan teman, sahabat, atau sayang hanya berlaku pada daerah
– daerah komuniti tertentu, khususnya Surabaya. Ketika kita mencoba menggunakan
slang ini diluar variasi komuniti Surabaya, maknanya akan bisa sangat berbeda,
misalnya ketika seorang Surabaya mengucapkan kata jancuk di Jogjakarta akan menjadi masalah, karena di Jogja kata jancuk dianggap tembung kasar yang tabu untuk diucapkan.
Jika berbicara tentang kebudayaan dan makna, mungkin kita perlu mengacu
kepada konsep intersubjectively shared
yang kira – kira berbunyi “tidak cukup
saya dan dia tahu, namun saya harus tahu kalau dia tahu dan dia harus tahu
kalau saya tahu”. Dengan kata lain penggunaan kata jancuk ini benar – benar bukan hanya sekedar shared culture yang dimiliki bersama, namun juga dapat dimaknai
antar individu yang relevan, sehingga makna struktur ekstrapersonal dan
interpersonal bersesuaian. Tanpa intersubjectely
shared akan terjadi kesalahpahaman, karena perbedaan makna yang terkandung
pada sebuah komuniti.
Transformasi Nilai – Nilai
Egaliter Masyarakat Jawa Modern
Seperti yang kita tahu saat ini, suku bangsa Jawa banyak mengalami
perubahan sosial dan modernitas dalam segala aspek. aspek yang paling kentara
dalam perubahan masyarakat Jawa adalah perubahan sistem ekonomi. Ada
kecenderungan pengalihan sistem kerja dari solidaritas mekanik ke solidaritas
organik. Masyarakat Jawa yang sekarang bekerja di suatu perusahaan umumnya memiliki
struktur berdasarkan organisasi keahlian masing – masing. Dengan analis pendekatan
marxist berarti disini kita melihat
ada perubahan dalam modus produksi yang terletak pada base. Seperti yang kita tahu, perubahan dalam base akan
mempengaruhi superstructure. Dalam
konteks ini, base adalah sistem ekonomi atau modus produksi, sedangkan
superstrukturnya bahasa.
Dalam lingkungan kerja yang semakin organis, masyarakat Jawa dalam
penerapanya cenderung mulai meninggalkan struktur hierarkis feodal seperti dikotomi
bangsawan – rakyat cilik. Sebagai gantinya lingkungan kerja modern menyajikan
bentuk yang lebih egaliter. Hal ini menyebabkan penggunaan bahasa hierarkis
jawa yaitu kromo – ngoko menjadi semakin kabur. Sehingga pada penerapan
dilapangan hierarki bahasa menjadi tidak begitu penting, dengan kata lain
bahasa kromo menjadi bahasa yang jarang digunakan dalam lingkungan kerja.
Umumnya lingkungan kerja lebih menggunakan bahasa nasional Indonesia ataupun
hanya bahasa ngoko yang lebih egaliter.
Struktur hierarkis yang menjadi kurang relevan disini, menyebabkan
semakin sedikitnya penutur yang fasih dalam berbahasa kromo, karena dalam
kesehariannya juga menjadi kurang dipentingkan. Seperti yang kita tahu dalam
analisis marxist yang namanya base
akan mempengaruhi superstructure,
namun dalam keadaan yang sudah berjalan superstructure
akan mengendalikan base. Hal ini juga
terjadi dalam masyarakat modern Jawa. Karena perkembangan lingkungan kerja yang
semakin organis, menyebabkan bahasa yang dipakai cenderung egaliter
(menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa). Penggunaan bahasa Indonesia dan Jawa
ngoko ini menjadi suatu bahasa yang mempengaruhi bidang – bidang dasar. Dalam
realitanya pengajaran orang tua ke anak mengenai bahasa juga memiliki
kecenderungan untuk mengurangi porsi bahasa kromo, sehingga generasi penerusnya
semakin kurang memahami dunia hierarkis Jawa. Jawa yang mereka kenal sekarang
lebih sebagai budaya Jawa yang egaliter yang sesuai dengan konteks jamannya.
Referensi
Koentjaraningtrat.
1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Eriksen,
Thomas Hylland. 2010. Ethnicity and Nationalism. New York: Pluto Press
NB : Teori Bahasa Kebudayaan dan Kognisi berasal dari catatan
kuliah.
(h) gila2!!!!
ReplyDelete