I don't want a lot of things. I just want to invite you to think together!

Pages

Wednesday 9 April 2014

Kesalahan Epistimologis dalam Ilmu – Ilmu Sosial



Seperti judul saya diatas. Tulisan saya ini merupakan sebuah kritik terhadap metode – metode ilmu sosial (epistimologis) yang saya anggap sebagai penyebab mandeknya perkembangan ilmu – ilmu sosial atau bisa kita bilang bahwa ilmu alam sudah jauh meninggalkan ilmu – ilmu sosial di belakangnya. Ini juga tak terlepas dari kelahiran ilmu alam yang berkembang lebih dulu daripada ilmu sosial. Misalnya para pelopor ilmu fisika klasik seperti Galelio dan Newton sudah memberikan landasan keilmuannya pada abad ke 16. Sedangkan ilmu sosial seperti sosiologi misalnya baru banyak dikembangkan di abad ke 19 oleh Auguste Comte, Emile Durkheim dll.

 Pada awalnya disini saya akan memberikan sedikit uraian mengenai perbedaan mendasar metodologi yang digunakan ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam cenderung memiliki kaidah logika deduktif dalam metodologinya, dalam artian tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu alam adalah generalisasi – generalisasi atau pernyataan – pernyataan yang bersifat umum (yang biasa disebut dengan nomotetik). Contohnya dalam mengamati air, ilmu fisika mencoba mencari sifat – sifat umum (generalisasi) dari sifat air sendiri, seperti air yang selalu mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Air yang selalu menekan segala arah. Dari semua pengamatan mereka hasilnya adalah sifat – sifat yang berupa umum dari air. Artinya jika kita menemui air di dunia manapun, seringkali sifat air akan sama dengan teori tersebut.

Sedangkan pada ilmu sosial sendiri, sebenarnya pada awalanya ilmuan sosial sendiri juga meletakan dasar nomotetik dalam cabang keilmuannya. Seperti Auguste Comte yang menganggap sosiologi adalah fisika sosial, yang berarti sosiologi pada awalnya berusaha ingin menemukan hukum – hukum yang lebih umum (nomotetik). Tetapi pada akhirnya ada banyak kendala yang menyebabkan metode ini kurang berkembang. Saya akan sampaikan kendalanya nanti pada bagian akhir dalam tulisan saya ini, saat ini kita akan lebih membahas tentang ilmu sosial yang berusaha menemukan hukum – hukum khusus (ideografik). Pendekatan ideografik ini dipelopori oleh para ilmuan – ilmuan humanis seperti Max Weber dalam sosiologi, Franz Boas dan Clifford Geertz dalam antropologi dll.

Singkatnya pendekatan ini menganggap bahwa kajian – kajian sosial (ilmu yang berhubungan dengan manusia) tidak bisa diukur dengan kaidah – kaidah yang statis seperti pada ilmu alam. Jika ilmu alam mempelajari benda mati yang memiliki keteraturan tinggi dalam sifat – sifatnya, kajian tentang manusia (ilmu sosial humaniora) sulit dicari keteraturannya dikarenakan manusia memiliki nafsu naluriah (id), ego (logika dalam menghadapi realitas), dan superego (kebudayaan yang mengendalikan tindakan individu. Menurut Sigmund Freud ketiganya akan bersaing begitu banyak. Manusia bisa saja bertindak melalui nalurinya, atau logikanya atau kebudayaannya, hal ini yang membuat kajian tentang manusia sangat sulit untuk ditemukan generalisasi – generalisasinya. Hal ini tentu berbeda dengan ilmu alam yang sangat mudah untuk memprediksi objek suatu alam, karena alam cenderung tidak berubah sifatnya. Misalnya contoh saya tentang air yang menekan segala arah dan mengalir ke tempat yang lebih rendah, di dunia manapun hukum ini akan berlaku umum dan relatif sama.

Maka dari sifat manusia sendiri yang sangat susah untuk diprediksi tersebut. Maka para ilmuan sosial mengganti metodologinya dari yang bersifat menemukan hukum – hukum umum, beralih ke penemuan hukum – hukum khusus. Hal ini dikarenakan manusia dianggap memiliki makna – makna yang berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. Gejala – gejala ilmu sosialpun dianggap sesuatu yang unik yang berbeda antara satu sama lain. Misalnya kajian tentang kebudayaan manusia. Sebagai contoh ada generalisasi bahwa laki – laki bersifat maskulin dan wanita bersifat feminin. Ternyata hal ini juga gagal sebagai generalisasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Margareth Mead ternyata di Papua Nugini yang ditemukan justru sebaliknya. Laki – laki memiliki tugas – tugas feminin dalam kehidupannya, sedangkan perempuan memiliki tugas lebih memiliki tugas - tugas maskulin seperti berburu, mencari makanan dsb. Hal ini mencerminkan susahnya ilmu sosial untuk menarik generalisasi. 

Hal ini berdampak pada fokus ilmu – ilmu sosial yang sekarang cenderung lebih ideografik (menemukan hukum – hukum khusus). Misalnya ilmu sejarah, jika setiap kejadian sejarah dianggap sebagai kejadian yang tidak akan pernah berulang lagi yang berbeda kejadian pada setiap masanya, maka otomatis berarti semua kejadian unik. Dan jika semua kejadian dalam sejarah itu unik, bagaimana untuk menemukan pola – polanya? Sudah barang tentu tidak akan ditemukan hukum – hukum yang bersifat umum disini. Atau ilmu antropologi yang mengkaji kebudayaan. Misalnya pada kebudayaan jawa bersendawa merupakan hal yang dianggap tidak sopan. Hal ini tentu berbeda dengan kebudayaan China yang menganggap bersendawa adalah suatu bentuk pujian terhadap sang koki atau yang memasak. Jika semua kebudayaan memiliki makna – makna yang berbeda bagaimana kita menarik generalisasinya? Itulah yang sebenarnya dirasakan ilmu – ilmu sosial sekarang. Tak ayal ilmu sosial sekarang seperti mengalami kemandekan untuk menciptakan sebuah teori – teori yang bersifat umum.

Ilmu sosial sekarang memiliki pendekatan interpretivisme yang berusaha mencari makna dibalik sebuah tindakan yang dilakukan oleh manusia. Dengan ini, ilmu sosial tidak akan mencari kesamaan tentang kebudayaan jawa dan China, akan tetapi mencari makna apa yang sebenarnya terkandung dalam etika kebudayaan – kebudayaan tersebut. Mereka lebih akan bertanya kenapa bersendawa dianggap sopan (pada kebudayaan China)? dan mengapa bersendawa juga dianggap sebagai sesuatu yang dianggap tidak sopan (dalam kebudayaan jawa). Kajian – kajian yang berusaha menggali makna seperti ini sebenarnya sangat banyak memiliki kelemahan. 

Saya berpendapat bahwa kajian mencari makna seperti ini hanyalah bentuk kefrustasian para ilmuan untuk mengembangkan metode nomotetik dalam ilmu sosial. Saya beranggapan kalau tugas ilmuan sosial mencari makna dengan melakukan wawancara mendalam, dan penelitian lapangan apa bedanya seorang ilmuan dengan seorang amatir? Saya pikir amatir juga bisa melakukan pencarian makna atas suatu kebudayaan tertentu. Orang amatir tak perlu berlatih untuk bertanya mengapa bersendawa dianggap sopan atau tidak sopan dalam budaya tertentu. Inilah yang sebenarnya saya kritik dari metodologis ilmu – ilmu sosial yang saya anggap hanya seperti tukang deskripsi masyarakat saja. Ilmuan sosial hanya melakukan pelukisan tentang masyarakat tertentu, yang saya yakin amatir pun jika dilatih selama 1 bulan juga dapat melakukannya.

Lalu bagaimana sebaiknya metode yang cocok untuk ilmu – ilmu sosial? Kita simpan pertanyaan ini dulu. Saya akan lebih membahas tentang  kendala – kendala yang dialami ilmu sosial untuk mengembangkan metode nomotetik. Penjelasan saya ini berdasarkan teori Herbert Spencer yang diinterpretasi oleh Alfred Louis Kroeber mengenai objek kajian ilmu pengetahuan sosial dan hubungannya dengan sifat metodologisnya (nomotetik atau ideografik). 
Kebudayaan
Ideografik


Nomotetik
Sosial
Psikis
Somatik (biologis)

Keterangan  :  (Semakin keatas semakin ideografik, semakin kebawah semakin nomotetik)

Dalam bagan tersebut tersedia empat kolom yang dikaji dalam ilmu pengetahun. Dari atas ke bawah (dari kebudayaan, sosial, psikis, somatik secara berurutan) hukum yang berlaku akan semakin nomotetik, sedangkan dari bawah keatas (sebaliknya) akan lebih ideografik. Jadi semakin ke arah somatik maka hukum – hukum yang berlaku adalah bersifat umum, sedangkan semakin kearah kebudayaan hukum yang berlaku akan bersifat lebih khusus. Contohnya misalnya dalam kajian manusia tentang aspek – aspeknya dalam hal biologis (somatik) sangat gampang ditemukan hukum – hukum yang bersifat umum. Misalnya suhu tubuh normal manusia yang mencapai 36 – 37 derajat celcius tentu ini adalah hukum yang sangat umum dimana berlakunya di seluruh dunia juga akan sama. Hal ini tentu berbeda jika objeknya berupa kebudayaan, misalnya contoh saya tentang orang bersendawa tadi, di setiap kebudayaan akan memiliki makna – makna yang tentu berbeda satu sama lain antar kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan sifatnya sangat ideografik.

Lalu bagaimana alternatifnya supaya ilmu – ilmu sosial dapat menemukan hukum – hukum yang berlaku umum untuk kemajuan disiplin ilmunya? Jawabannya adalah mengkaji objek dalam disiplinnya yang berkaitan dengan hal somatik dan psikis. Ataupun juga dalam lingkup sosial dan budaya sebenarnya juga bisa, akan tetapi akan lebih susah daripada dari objek psikis dan somatik. Kongkritnya langsung saja ke contoh. Misalnya ilmu psikologi yang mengkaji manusia pada tataran psikis, kita tahu bahwa objek psikis adalah objek yang cukup nomotetik (relatif mudah untuk ditemukan hukum – hukum umum). Contoh hasil konkrit ilmu psikologi dalam mengembangkan kaidah nomotetik misalnya dalam pengkategorian kecerdasan manusia atau IQ yang dipelopori oleh Alfred Binet. Ataupun kajian tentang pola – pola kepribadian manusia seperti yang dilakukan Carl Gustav Jung. Tentu semua orang di dunia menganggap hasil dari tes IQ adalah sesuatu yang universal dimana pasti yang memiliki tingkat IQ lebih tinggi dianggap lebih cerdas daripada yang memiliki IQ rendah. Atau dalam ilmu ekonomi, percaya atau tidak ilmu ekonomi juga banyak bermain pada tataran psikis manusia, dimana dianggap bahwa prinsip manusia adalah mencari keuntungan sebanyak – banyaknya dan mengurangi kerugian sebanyak – banyaknya. Hal ini hampir selalu berlaku di dunia manapun.

Lalu bagaiman menjelaskan gejala orang yang tidak suka mengeruk keuntungan sebanyak – banyaknya dan menekan kerugian seminimal mungkin seperti pemuka agama misalnya. Disini kita harus kritis bahwa gejala agama bukan merupakan gejala psikis, dia lebih merupakan hal yang bersifat kebudayaan yang mengendalikan perilaku seseorang. Maka tidak heran hukum – hukum umum tidak mempan pada objek yang bersifat budaya.

Sebenarnya kebudayaan juga bukan merupakan hal yang sulit dicari keteraturannya, misalnya kenapa emas dianggap barang berharga oleh seluruh umat manusia? Bahkan harga emas jauh lebih maha dari harga nasi. Padahal jika kita tidak makan nasi akan mati, tetapi jika kita tidak memiliki emas tidak akan terjadi hal apapun pada kita. Namun kenapa emas tetap dianggap sangat berharga kebudayaan manapun? Jawabannya adalah karena emas dikonstruksikan secara sosial oleh seluruh masyarakat di dunia sebagai barang yang berharga sehingga emas memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Tentu kita sekarang setuju kalau emas merupakan barang mahal, karena dalam kebudayaan kita memang dikonstruksikan seperti itu. atau misalnya uang, apa yang berharga dari uang ketimbang makanan? bukankah uang hanya selembar kertas yang jika kita hidup tanpa uangpun kita tidak akan mati? Lalu kenapa uang dianggap berharga? Tentulah karena konstruksi sosial dari masyarakat yang mengadakan perjanjian atau kesepakatan bahwa uang merupakan barang yang berharga.

Pada kesimpulan saya, saya tidak setuju pada ilmu – ilmu sosial yang sudah meninggalkan kaidah nomotetik dalam penelitiannya. Saya yakin hukum – hukum umum atau generalisasi juga dapat dilakukan oleh ilmu – ilmu sosial, hanya saja masih kurang diberdayakan pada saat ini. Mungkin salah satu sebabnya adalah para ilmuannya sendiri yang enggan untuk memakai metode – metode positivistik (ilmu alam) dan nomotetik yang lebih sukar dalam pelaksanaannya seperti memakai statistika dan matematika dalam pembuktian hukum – hukum umumnya. Seperti kita tahu sekarang banyak yang masuk ilmu sosial dikarenakan hanya karena merasa lemah di pelajaran matematika sehingga menghindari mata pelajaran tersebut. Seharusnya hal ini dihindari, karena matematika sangat penting untuk pengembangan metode nomotetik, tidak ada alasan untuk ilmuan tidak menguasai statistika dan matematika. Jika ilmu sosial ingin berbenah, hal ini harus dihindari.

Saya sangat optimis dalam kajian – ilmu sosial dapat melahirakan teori – teori bersifat umum. Terlepas dari berbagai stigma dan ajaran tentang humanisme yang melawan argumen saya, saya tetap berpendapat kaidah nomotetik penting untuk kajian ilmu pengetahuan. Misalnya dalam antropologi, akhir – akhir ini berkembang kajian – kajian nomotetik oleh para antropolog kognitif Amerika Serikat. Kajiannya adalah tentang hubungan ras dengan IQ manusia yang mendapatkan hukum – hukum umum bahwa ternyata ras orang yahudi dan asiatic mongoloid atau asia timur memiliki rata – rata kecerdasan tertinggi di dunia. Golongan bisa dilihat melalui pemenang penghargaan Nobel yang hampir 30% merupakan keturunan yahudi, ataupun jika kita ingin melihat teingkat IQ, Hongkong yang memiliki rata – rata penduduk dengan IQ tertinggi yang mencapai 107, diteruskan oleh Taiwan, Jepang dan China di peringkat – peringkat berikutnya. Sementara orang kulit putih kaukasoid rata – rata hanya mencapai IQ 100. Lalu terakhir adalah negroid yang memiliki rata – rata paling rendah. Tentu kajian seperti ini sangat menarik, menggabungkan objek somatik, psikis, sosial dan budaya menajadi kajian yang bisa dikaji secara nomotetik.

Terakhir, bukan saya mendiskritkan metode – metode ideografik dalam ilmu sosial. Menurut saya kajian ideografik juga sangat berguna jika menyangkut pencarian makan pada tataran yang lebih tinggi. Misalnya mencari makna tentang distribusi antara hubungan ras dengan IQ merupakan sebuah kajian yang menarik. Kajian ideografik dapat menjelaskan bagaiman kehidupan sehari – hari antar ras tersebut, hingga bisa timbul kecerdasan yang berbeda antar tiap ras. Mungkin kajian tentang makna bisa melukiskan seluruh aspek dalam kehidupan sehari – hari untuk diungkap dalam penelitian lapangan. Misalnya bagaiamana orang asia timur bisa lebih cerdas dari bangsa lainnya? Apa yang mereka makan? Apakah mereka makan ikan atau daging? Berapa tahun sistem pengajaran sekolah disana? dsb. Tentu hal – hal seperti ini sangat menarik. Saya berharap para ilmuan dapat mengembangkan epistimologis (cara mendapatkan pengetahuan yang benar) dalam bidangnya masing – masing tanpa harus terkotak – kotak dengan stigma bahwa ilmu sosial cenderung ideografik dan ilmu alam bersifat nomotetik. Saya rasa ilmu sosial bisa mengembangkan keduanya tanpa membuang kaidah nomotetik seperti sekarang ini.


Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Depok, 10 April 2014


Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

3 comments

  1. Sebuah tulisan yang bagus dan menarik,persoalan perkembangan metodologi penelitian sosial yang berubah, mungkin memang karena sulitnya mengukur subjek dan objek yang ditelitinya sehingga itu tidak menghasilkan generalisasi generalisasi umum. aku rasa pergeseran ini lah yang patut di dalami lebih dalam lagi, pertanyaannya mengapa bergeser/berubah ? narasi besar kita telah berubah seiring perkembangan zaman. menurutku justru di era sekarang (postmodern) menjadi lebih menarik mengkaji ilmu ilmu sosial meskipun tujuannya tidak tertuju pada generalisasi-generalisasi umum, pencarian makna kebenaran menjadi lebih menantang. kita bisa membedakan penelitian penelitian sosial di era Modern dan Post-Modern seperti apa.

    ReplyDelete

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Angkringan Intelektual
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top