Seperti
judul saya diatas. Tulisan saya ini merupakan sebuah kritik terhadap metode –
metode ilmu sosial (epistimologis) yang saya anggap sebagai penyebab mandeknya
perkembangan ilmu – ilmu sosial atau bisa kita bilang bahwa ilmu alam sudah
jauh meninggalkan ilmu – ilmu sosial di belakangnya. Ini juga tak terlepas dari
kelahiran ilmu alam yang berkembang lebih dulu daripada ilmu sosial. Misalnya para
pelopor ilmu fisika klasik seperti Galelio dan Newton sudah memberikan landasan
keilmuannya pada abad ke 16. Sedangkan ilmu sosial seperti sosiologi misalnya
baru banyak dikembangkan di abad ke 19 oleh Auguste Comte, Emile Durkheim dll.
Pada awalnya disini saya akan memberikan
sedikit uraian mengenai perbedaan mendasar metodologi yang digunakan ilmu alam
dan ilmu sosial. Ilmu alam cenderung memiliki kaidah logika deduktif dalam
metodologinya, dalam artian tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu alam adalah generalisasi
– generalisasi atau pernyataan – pernyataan yang bersifat umum (yang biasa
disebut dengan nomotetik). Contohnya dalam mengamati air, ilmu fisika mencoba
mencari sifat – sifat umum (generalisasi) dari sifat air sendiri, seperti air
yang selalu mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Air yang
selalu menekan segala arah. Dari semua pengamatan mereka hasilnya adalah sifat –
sifat yang berupa umum dari air. Artinya jika kita menemui air di dunia manapun,
seringkali sifat air akan sama dengan teori tersebut.
Sedangkan
pada ilmu sosial sendiri, sebenarnya pada awalanya ilmuan sosial sendiri juga
meletakan dasar nomotetik dalam cabang keilmuannya. Seperti Auguste Comte yang
menganggap sosiologi adalah fisika sosial, yang berarti sosiologi pada awalnya
berusaha ingin menemukan hukum – hukum yang lebih umum (nomotetik). Tetapi pada
akhirnya ada banyak kendala yang menyebabkan metode ini kurang berkembang. Saya
akan sampaikan kendalanya nanti pada bagian akhir dalam tulisan saya ini, saat
ini kita akan lebih membahas tentang ilmu sosial yang berusaha menemukan hukum –
hukum khusus (ideografik). Pendekatan ideografik ini dipelopori oleh para
ilmuan – ilmuan humanis seperti Max Weber dalam sosiologi, Franz Boas dan
Clifford Geertz dalam antropologi dll.
Singkatnya
pendekatan ini menganggap bahwa kajian – kajian sosial (ilmu yang berhubungan
dengan manusia) tidak bisa diukur dengan kaidah – kaidah yang statis seperti
pada ilmu alam. Jika ilmu alam mempelajari benda mati yang memiliki keteraturan
tinggi dalam sifat – sifatnya, kajian tentang manusia (ilmu sosial humaniora)
sulit dicari keteraturannya dikarenakan manusia memiliki nafsu naluriah (id),
ego (logika dalam menghadapi realitas), dan superego (kebudayaan yang
mengendalikan tindakan individu. Menurut Sigmund Freud ketiganya akan bersaing
begitu banyak. Manusia bisa saja bertindak melalui nalurinya, atau logikanya
atau kebudayaannya, hal ini yang membuat kajian tentang manusia sangat sulit
untuk ditemukan generalisasi – generalisasinya. Hal ini tentu berbeda dengan
ilmu alam yang sangat mudah untuk memprediksi objek suatu alam, karena alam cenderung
tidak berubah sifatnya. Misalnya contoh saya tentang air yang menekan segala
arah dan mengalir ke tempat yang lebih rendah, di dunia manapun hukum ini akan
berlaku umum dan relatif sama.
Maka dari sifat
manusia sendiri yang sangat susah untuk diprediksi tersebut. Maka para ilmuan
sosial mengganti metodologinya dari yang bersifat menemukan hukum – hukum umum,
beralih ke penemuan hukum – hukum khusus. Hal ini dikarenakan manusia dianggap
memiliki makna – makna yang berbeda antara individu satu dengan individu
lainnya. Gejala – gejala ilmu sosialpun dianggap sesuatu yang unik yang berbeda
antara satu sama lain. Misalnya kajian tentang kebudayaan manusia. Sebagai contoh
ada generalisasi bahwa laki – laki bersifat maskulin dan wanita bersifat
feminin. Ternyata hal ini juga gagal sebagai generalisasi. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Margareth Mead ternyata di Papua Nugini yang ditemukan
justru sebaliknya. Laki – laki memiliki tugas – tugas feminin dalam
kehidupannya, sedangkan perempuan memiliki tugas lebih memiliki tugas - tugas
maskulin seperti berburu, mencari makanan dsb. Hal ini mencerminkan susahnya
ilmu sosial untuk menarik generalisasi.
Hal ini berdampak pada
fokus ilmu – ilmu sosial yang sekarang cenderung lebih ideografik (menemukan
hukum – hukum khusus). Misalnya ilmu sejarah, jika setiap kejadian sejarah
dianggap sebagai kejadian yang tidak akan pernah berulang lagi yang berbeda
kejadian pada setiap masanya, maka otomatis berarti semua kejadian unik. Dan jika
semua kejadian dalam sejarah itu unik, bagaimana untuk menemukan pola –
polanya? Sudah barang tentu tidak akan ditemukan hukum – hukum yang bersifat
umum disini. Atau ilmu antropologi yang mengkaji kebudayaan. Misalnya pada
kebudayaan jawa bersendawa merupakan hal yang dianggap tidak sopan. Hal ini
tentu berbeda dengan kebudayaan China yang menganggap bersendawa adalah suatu
bentuk pujian terhadap sang koki atau yang memasak. Jika semua kebudayaan
memiliki makna – makna yang berbeda bagaimana kita menarik generalisasinya? Itulah
yang sebenarnya dirasakan ilmu – ilmu sosial sekarang. Tak ayal ilmu sosial
sekarang seperti mengalami kemandekan untuk menciptakan sebuah teori – teori yang
bersifat umum.
Ilmu sosial sekarang
memiliki pendekatan interpretivisme yang berusaha mencari makna dibalik sebuah
tindakan yang dilakukan oleh manusia. Dengan ini, ilmu sosial tidak akan
mencari kesamaan tentang kebudayaan jawa dan China, akan tetapi mencari makna
apa yang sebenarnya terkandung dalam etika kebudayaan – kebudayaan tersebut. Mereka
lebih akan bertanya kenapa bersendawa dianggap sopan (pada kebudayaan China)? dan
mengapa bersendawa juga dianggap sebagai sesuatu yang dianggap tidak sopan
(dalam kebudayaan jawa). Kajian – kajian yang berusaha menggali makna seperti
ini sebenarnya sangat banyak memiliki kelemahan.
Saya berpendapat bahwa
kajian mencari makna seperti ini hanyalah bentuk kefrustasian para ilmuan untuk
mengembangkan metode nomotetik dalam ilmu sosial. Saya beranggapan kalau tugas
ilmuan sosial mencari makna dengan melakukan wawancara mendalam, dan penelitian
lapangan apa bedanya seorang ilmuan dengan seorang amatir? Saya pikir amatir
juga bisa melakukan pencarian makna atas suatu kebudayaan tertentu. Orang amatir
tak perlu berlatih untuk bertanya mengapa bersendawa dianggap sopan atau tidak
sopan dalam budaya tertentu. Inilah yang sebenarnya saya kritik dari
metodologis ilmu – ilmu sosial yang saya anggap hanya seperti tukang deskripsi
masyarakat saja. Ilmuan sosial hanya melakukan pelukisan tentang masyarakat
tertentu, yang saya yakin amatir pun jika dilatih selama 1 bulan juga dapat
melakukannya.
Lalu bagaimana
sebaiknya metode yang cocok untuk ilmu – ilmu sosial? Kita simpan pertanyaan
ini dulu. Saya akan lebih membahas tentang
kendala – kendala yang dialami ilmu sosial untuk mengembangkan metode
nomotetik. Penjelasan saya ini berdasarkan teori Herbert Spencer yang
diinterpretasi oleh Alfred Louis Kroeber mengenai objek kajian ilmu pengetahuan
sosial dan hubungannya dengan sifat metodologisnya (nomotetik atau ideografik).
Kebudayaan
|
Ideografik
Nomotetik
|
Sosial
|
|
Psikis
|
|
Somatik (biologis)
|
Keterangan : (Semakin keatas semakin ideografik, semakin kebawah semakin nomotetik)
Dalam bagan
tersebut tersedia empat kolom yang dikaji dalam ilmu pengetahun. Dari atas ke
bawah (dari kebudayaan, sosial, psikis, somatik secara berurutan) hukum yang
berlaku akan semakin nomotetik, sedangkan dari bawah keatas (sebaliknya) akan
lebih ideografik. Jadi semakin ke arah somatik maka hukum – hukum yang berlaku
adalah bersifat umum, sedangkan semakin kearah kebudayaan hukum yang berlaku
akan bersifat lebih khusus. Contohnya misalnya dalam kajian manusia tentang
aspek – aspeknya dalam hal biologis (somatik) sangat gampang ditemukan hukum –
hukum yang bersifat umum. Misalnya suhu tubuh normal manusia yang mencapai 36 –
37 derajat celcius tentu ini adalah hukum yang sangat umum dimana berlakunya di
seluruh dunia juga akan sama. Hal ini tentu berbeda jika objeknya berupa
kebudayaan, misalnya contoh saya tentang orang bersendawa tadi, di setiap
kebudayaan akan memiliki makna – makna yang tentu berbeda satu sama lain antar
kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan sifatnya sangat ideografik.
Lalu bagaimana
alternatifnya supaya ilmu – ilmu sosial dapat menemukan hukum – hukum yang
berlaku umum untuk kemajuan disiplin ilmunya? Jawabannya adalah mengkaji objek
dalam disiplinnya yang berkaitan dengan hal somatik dan psikis. Ataupun juga
dalam lingkup sosial dan budaya sebenarnya juga bisa, akan tetapi akan lebih
susah daripada dari objek psikis dan somatik. Kongkritnya langsung saja ke
contoh. Misalnya ilmu psikologi yang mengkaji manusia pada tataran psikis, kita
tahu bahwa objek psikis adalah objek yang cukup nomotetik (relatif mudah untuk
ditemukan hukum – hukum umum). Contoh hasil konkrit ilmu psikologi dalam
mengembangkan kaidah nomotetik misalnya dalam pengkategorian kecerdasan manusia
atau IQ yang dipelopori oleh Alfred Binet. Ataupun kajian tentang pola – pola kepribadian
manusia seperti yang dilakukan Carl Gustav Jung. Tentu semua orang di dunia
menganggap hasil dari tes IQ adalah sesuatu yang universal dimana pasti yang
memiliki tingkat IQ lebih tinggi dianggap lebih cerdas daripada yang memiliki
IQ rendah. Atau dalam ilmu ekonomi, percaya atau tidak ilmu ekonomi juga banyak
bermain pada tataran psikis manusia, dimana dianggap bahwa prinsip manusia adalah
mencari keuntungan sebanyak – banyaknya dan mengurangi kerugian sebanyak –
banyaknya. Hal ini hampir selalu berlaku di dunia manapun.
Lalu bagaiman
menjelaskan gejala orang yang tidak suka mengeruk keuntungan sebanyak –
banyaknya dan menekan kerugian seminimal mungkin seperti pemuka agama misalnya.
Disini kita harus kritis bahwa gejala agama bukan merupakan gejala psikis, dia
lebih merupakan hal yang bersifat kebudayaan yang mengendalikan perilaku
seseorang. Maka tidak heran hukum – hukum umum tidak mempan pada objek yang
bersifat budaya.
Sebenarnya
kebudayaan juga bukan merupakan hal yang sulit dicari keteraturannya, misalnya
kenapa emas dianggap barang berharga oleh seluruh umat manusia? Bahkan harga
emas jauh lebih maha dari harga nasi. Padahal jika kita tidak makan nasi akan
mati, tetapi jika kita tidak memiliki emas tidak akan terjadi hal apapun pada kita.
Namun kenapa emas tetap dianggap sangat berharga kebudayaan manapun? Jawabannya
adalah karena emas dikonstruksikan secara sosial oleh seluruh masyarakat di
dunia sebagai barang yang berharga sehingga emas memiliki nilai jual yang
sangat tinggi. Tentu kita sekarang setuju kalau emas merupakan barang mahal,
karena dalam kebudayaan kita memang dikonstruksikan seperti itu. atau misalnya
uang, apa yang berharga dari uang ketimbang makanan? bukankah uang hanya
selembar kertas yang jika kita hidup tanpa uangpun kita tidak akan mati? Lalu kenapa
uang dianggap berharga? Tentulah karena konstruksi sosial dari masyarakat yang
mengadakan perjanjian atau kesepakatan bahwa uang merupakan barang yang
berharga.
Pada
kesimpulan saya, saya tidak setuju pada ilmu – ilmu sosial yang sudah
meninggalkan kaidah nomotetik dalam penelitiannya. Saya yakin hukum – hukum umum
atau generalisasi juga dapat dilakukan oleh ilmu – ilmu sosial, hanya saja
masih kurang diberdayakan pada saat ini. Mungkin salah satu sebabnya adalah
para ilmuannya sendiri yang enggan untuk memakai metode – metode positivistik
(ilmu alam) dan nomotetik yang lebih sukar dalam pelaksanaannya seperti memakai
statistika dan matematika dalam pembuktian hukum – hukum umumnya. Seperti kita
tahu sekarang banyak yang masuk ilmu sosial dikarenakan hanya karena merasa
lemah di pelajaran matematika sehingga menghindari mata pelajaran tersebut. Seharusnya
hal ini dihindari, karena matematika sangat penting untuk pengembangan metode
nomotetik, tidak ada alasan untuk ilmuan tidak menguasai statistika dan
matematika. Jika ilmu sosial ingin berbenah, hal ini harus dihindari.
Saya
sangat optimis dalam kajian – ilmu sosial dapat melahirakan teori – teori bersifat
umum. Terlepas dari berbagai stigma dan ajaran tentang humanisme yang melawan
argumen saya, saya tetap berpendapat kaidah nomotetik penting untuk kajian ilmu
pengetahuan. Misalnya dalam antropologi, akhir – akhir ini berkembang kajian –
kajian nomotetik oleh para antropolog kognitif Amerika Serikat. Kajiannya adalah
tentang hubungan ras dengan IQ manusia yang mendapatkan hukum – hukum umum
bahwa ternyata ras orang yahudi dan asiatic mongoloid atau asia timur memiliki
rata – rata kecerdasan tertinggi di dunia. Golongan bisa dilihat melalui pemenang
penghargaan Nobel yang hampir 30% merupakan keturunan yahudi, ataupun jika kita
ingin melihat teingkat IQ, Hongkong yang memiliki rata – rata penduduk dengan
IQ tertinggi yang mencapai 107, diteruskan oleh Taiwan, Jepang dan China di
peringkat – peringkat berikutnya. Sementara orang kulit putih kaukasoid rata –
rata hanya mencapai IQ 100. Lalu terakhir adalah negroid yang memiliki rata –
rata paling rendah. Tentu kajian seperti ini sangat menarik, menggabungkan
objek somatik, psikis, sosial dan budaya menajadi kajian yang bisa dikaji
secara nomotetik.
Terakhir, bukan
saya mendiskritkan metode – metode ideografik dalam ilmu sosial. Menurut saya
kajian ideografik juga sangat berguna jika menyangkut pencarian makan pada
tataran yang lebih tinggi. Misalnya mencari makna tentang distribusi antara
hubungan ras dengan IQ merupakan sebuah kajian yang menarik. Kajian ideografik
dapat menjelaskan bagaiman kehidupan sehari – hari antar ras tersebut, hingga
bisa timbul kecerdasan yang berbeda antar tiap ras. Mungkin kajian tentang
makna bisa melukiskan seluruh aspek dalam kehidupan sehari – hari untuk
diungkap dalam penelitian lapangan. Misalnya bagaiamana orang asia timur bisa
lebih cerdas dari bangsa lainnya? Apa yang mereka makan? Apakah mereka makan
ikan atau daging? Berapa tahun sistem pengajaran sekolah disana? dsb. Tentu hal
– hal seperti ini sangat menarik. Saya berharap para ilmuan dapat mengembangkan
epistimologis (cara mendapatkan pengetahuan yang benar) dalam bidangnya masing –
masing tanpa harus terkotak – kotak dengan stigma bahwa ilmu sosial cenderung
ideografik dan ilmu alam bersifat nomotetik. Saya rasa ilmu sosial bisa
mengembangkan keduanya tanpa membuang kaidah nomotetik seperti sekarang ini.
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Depok, 10 April 2014
Depok, 10 April 2014
(h)
ReplyDeleteMencerahkan. Terima kasih.
ReplyDeleteSebuah tulisan yang bagus dan menarik,persoalan perkembangan metodologi penelitian sosial yang berubah, mungkin memang karena sulitnya mengukur subjek dan objek yang ditelitinya sehingga itu tidak menghasilkan generalisasi generalisasi umum. aku rasa pergeseran ini lah yang patut di dalami lebih dalam lagi, pertanyaannya mengapa bergeser/berubah ? narasi besar kita telah berubah seiring perkembangan zaman. menurutku justru di era sekarang (postmodern) menjadi lebih menarik mengkaji ilmu ilmu sosial meskipun tujuannya tidak tertuju pada generalisasi-generalisasi umum, pencarian makna kebenaran menjadi lebih menantang. kita bisa membedakan penelitian penelitian sosial di era Modern dan Post-Modern seperti apa.
ReplyDelete