Oleh
CHAIRUL ANAM BAGUS HAQQIASMI
Sejak mulai digunakan sebagai standar kelulusan sekolah, ujian nasional
atau UN terus menerus menimbulkan polemik panjang. Banyak diantaranya yang
sangat tidak setuju dengan kebijakan ini, terutama dikarenakan sudah tidak
sesuai lagi dengan tujuan dasar pendidikan. Harapan dari pemerintah, dengan
diadakannya ujian nasional adalah siswa dapat belajar dengan tekun untuk
mengejar standar kelulusan yang ada. Namun harapan tinggalah angan – angan
saja, mengingat realita yang ada sekarang sungguh berbanding terbalik dengan
harapan pemerintah. Adanya indikasi kecurangan di setiap penyelenggaraan ujian
nasional seakan – akan menunjukan bukti yang sahih bahwa ujian nasional
merupakan ajang berjamaah para guru dan murid untuk berlaku curang menjaga
kredibilitas sekolahnya.
Harapan UN sebagai salah satu wadah peningkatan pendidikan sudah
berbanding terbalik dengan realita yang ada di lapangan. UN seringkali dianggap
momok yang sangat menakutkan oleh para siswa. Terlebih dengan tingginya standar
kelulusan yakni, rata – rata untuk semua nilai ujian 55 dan batas nilai
terendah adalah 40. Hal ini tentu saja memicu kecurangan yang terjadi dimana –
mana. Dampak yang paling ironis adalah kecurangan ini adalah sesuatu yang
dianggap biasa oleh peserta, guru – guru pengawas maupun pemerintah. Seperti
yang kita tahu, jika sesuatu sudah mulai dianggap wajar, berarti sesuatu
tersebut telah “membudaya”. Sungguh ironis mengingat sesuatu yang bisa dianggap
sebagai kegiatan korupsi malah dimaklumi secara berjamaah.
Rahasia umum
Sudah bukan rahasia lagi bahwa hampir di setiap daerah pihak sekolah
disinyalir ikut membantu dalam pengerjaan ujian nasional. Bahkan di suatu
daerah di Jawa Timur diadakan sumpah pengawas yang pada intinya pengawas tidak
boleh mengawasi siswanya terlalu ketat, sehingga siswanya punya kelonggaran
untuk bekerjasama. Hal ini sungguh sangat disayangkan, mengingat guru sebagai
teladan malah mengajarkan proses korupsi berjamaah pada siswanya sendiri.
Setiap kali ujian nasional diadakan, sebenarnya sudah ada skenario yang disiapkan
oleh pihak sekolah untuk membantu para siswanya. Skenario pertama adalah siswa
diminta pada hari sebelum ujian nasional untuk memilih “petugas” pembagi
jawaban yang nanti berfungsi untuk membagi – bagi jawaban saat dikelas.
Biasanya yang mendapat bagian ini adalah siswa yang biasa melakukan kecurangan
dalam ujian – ujian sebelumnya dan berani dalam mengambil resiko
Kedua, pada saat hari H siswa mendiskusikan bagaimana peran “petugas”
pembagi jawaban nanti saat dia mulai membagikan jawaban pada teman – temannya.
Hal ini menyangkut mekanisme strategi untuk mengecoh pengawas. Padahal dalam
praktiknya pengawas seringkali tahu apa yang dilakukan oleh siswa. Akan tetapi
mereka lebih memilih membiarkan siswa curang, dikarenakan telah disumpah
bersama untuk melonggarkan pengawasan ujian nasional. Seringkali pengawas hanya
berpura – pura tidak tahu dengan membaca koran, atau tidak memandang yang
bersangkutan. Hal ini dilakukan karena pengawas juga tidak ingin siswa di
sekolahnya dijaga ketat oleh pengawas ujian yang sedang bertugas di sekolahnya.
Ketiga, saat ujian nasional berlangsung, guru yang bersangkutan dengan
mata pelajaran UN bersembunyi di ruang rahasia yang telah disiapkan beberapa
hari sebelumnya untuk ikut mengerjakan soal ujian nasional juga. Biasanya soal
yang dikerjakan oleh guru ini akan lebih cepat selesai daripada yang dikerjakan
para siswa. Dengan asumsi bahwa sebelum 45 atau 30 menit sebelum ujian berakhir
para guru sudah selesai mengerjakan soal yang
diujikan. Setelah selesai, jawaban para guru ini didistribusikan ke
toilet atau ruangan yang sudah dijanjikan sebelumnya untuk pengambilan jawaban.
Keempat, kemudian mulailah ponsel para siswa bergetar, terutama para
“petugas” pembagi jawaban yang ditugaskan untuk mengambil jawaban di toilet atau
tempat yang sudah dijanjikan oleh para guru. pada saat inilah siswa berbondong
– bondong izin ke toilet untuk mengambil jawaban ujian nasional. Di toilet
“petugas” ini akan mendapati sebuah kertas kecil yang berisikan sebagian besar
dari jawaban ujian nasional. Ada juga beberapa skenario lain, misalnya siswa
tidak perlu ke toilet, cukup guru yang bertugas membagi jawaban melalui pesan
singkat ponsel.
Kelima, setelah para “petugas” kembali ke kelas maka skenario berikutnya
dimulai yakni, membagi – bagi jawaban ke siswa lainnya. Pembagian jawaban sudah
disiapkan dengan berbagai mekanisme yang telah disusun para siswa di kelas.
Meskipun paket soal berbeda – beda, siswa akan tetap tidak kesulitan karena
sudah menyusun berbagai mekanisme pembagian jawaban yang sudah disiapkan ketika
datang pagi lebih awal. Disini biasanya pengawas akan berpura – pura ngobrol,
membaca koran dan lain – lain, yang penting siswa tidak berisik, para pengawas
akan membiarkan siswanya mencontek.
Terakhir, ujian nasional hari pertama selesai dan mempersiapkan strategi
untuk menghadapi ujian nasional besoknya. Karena sudah menjadi rahasia umum
bahwa biasanya pengawas ujian nasional dengan sekolah yang bersangkutan sudah
mengadakan kerjasama. Maka biasanya pada akhir
ujian, pihak sekolah akan memberikan hadiah berupa bingkisan kepada para
pengawas ujian nasional tersebut atas rasa terimakasih sudah melonggarkan
siswanya untuk berbuat curang.
Seringkali jika ada siswa yang tidak lulus ujian nasional ini adalah
siswa yang malahan tidak berbuat curang. Ujian nasional berbasis curang seperti
ini menimbulkan efek domino, dimana
jika kita tidak memilih untuk terlibat, kita sendiri yang akan kena getahnya.
Contohnya siswa yang tidak lulus ujian karena mencoba tidak ikut – ikutan untuk
berbuat curang. Atau pengawas yang mengawasi dengan tegas, seringkali mendapat
kecaman dan dikucilkan dari perkumpulan pengawas dan guru.
Harusnya hal pertama yang diatasi pemerintah adalah pemerataan
pendidikan. Bagaimana siswa yang kaya maupun yang miskin mendapatkan pendidikan
yang adil. Idealnya siswa – siswa yang kurang mampu dapat mendapatkan
pendidikan suplemen dan buku – buku penunjang layaknya siswa lainnya. Sebagai
contoh misalkan ada soal ujian nasional tentang kereta api. Bagi siswa yang
keseharian hidup di pulau jawa mungkin hal yang biasa, namun bagaimana bila
pertanyaan itu diajukan pada siswa dipedalaman papua yang masih minim
infrastruktur? Pasti siswa itu akan bingung. Oleh karena itu lebih bijaksana
jika pemerintah menyoroti pemerataan pendidikan sebelum tindak lanjut ke ujian
nasional yang berskala global.
CHAIRUL
ANAM BAGUS HAQQIASMI
FISIP Universitas Indonesia
FISIP Universitas Indonesia
Gua UN Gak kayak gitu. Penulisnya ngasal nih
ReplyDelete