I don't want a lot of things. I just want to invite you to think together!

Pages

Friday 2 May 2014

Ujian Nasional, Pembudidayaan Kemunafikan Berjamaah



Oleh CHAIRUL ANAM BAGUS HAQQIASMI

Sejak mulai digunakan sebagai standar kelulusan sekolah, ujian nasional atau UN terus menerus menimbulkan polemik panjang. Banyak diantaranya yang sangat tidak setuju dengan kebijakan ini, terutama dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan dasar pendidikan. Harapan dari pemerintah, dengan diadakannya ujian nasional adalah siswa dapat belajar dengan tekun untuk mengejar standar kelulusan yang ada. Namun harapan tinggalah angan – angan saja, mengingat realita yang ada sekarang sungguh berbanding terbalik dengan harapan pemerintah. Adanya indikasi kecurangan di setiap penyelenggaraan ujian nasional seakan – akan menunjukan bukti yang sahih bahwa ujian nasional merupakan ajang berjamaah para guru dan murid untuk berlaku curang menjaga kredibilitas sekolahnya.
Harapan UN sebagai salah satu wadah peningkatan pendidikan sudah berbanding terbalik dengan realita yang ada di lapangan. UN seringkali dianggap momok yang sangat menakutkan oleh para siswa. Terlebih dengan tingginya standar kelulusan yakni, rata – rata untuk semua nilai ujian 55 dan batas nilai terendah adalah 40. Hal ini tentu saja memicu kecurangan yang terjadi dimana – mana. Dampak yang paling ironis adalah kecurangan ini adalah sesuatu yang dianggap biasa oleh peserta, guru – guru pengawas maupun pemerintah. Seperti yang kita tahu, jika sesuatu sudah mulai dianggap wajar, berarti sesuatu tersebut telah “membudaya”. Sungguh ironis mengingat sesuatu yang bisa dianggap sebagai kegiatan korupsi malah dimaklumi secara berjamaah.
Rahasia umum
Sudah bukan rahasia lagi bahwa hampir di setiap daerah pihak sekolah disinyalir ikut membantu dalam pengerjaan ujian nasional. Bahkan di suatu daerah di Jawa Timur diadakan sumpah pengawas yang pada intinya pengawas tidak boleh mengawasi siswanya terlalu ketat, sehingga siswanya punya kelonggaran untuk bekerjasama. Hal ini sungguh sangat disayangkan, mengingat guru sebagai teladan malah mengajarkan proses korupsi berjamaah pada siswanya sendiri. Setiap kali ujian nasional diadakan, sebenarnya sudah ada skenario yang disiapkan oleh pihak sekolah untuk membantu para siswanya. Skenario pertama adalah siswa diminta pada hari sebelum ujian nasional untuk memilih “petugas” pembagi jawaban yang nanti berfungsi untuk membagi – bagi jawaban saat dikelas. Biasanya yang mendapat bagian ini adalah siswa yang biasa melakukan kecurangan dalam ujian – ujian sebelumnya dan berani dalam mengambil resiko
Kedua, pada saat hari H siswa mendiskusikan bagaimana peran “petugas” pembagi jawaban nanti saat dia mulai membagikan jawaban pada teman – temannya. Hal ini menyangkut mekanisme strategi untuk mengecoh pengawas. Padahal dalam praktiknya pengawas seringkali tahu apa yang dilakukan oleh siswa. Akan tetapi mereka lebih memilih membiarkan siswa curang, dikarenakan telah disumpah bersama untuk melonggarkan pengawasan ujian nasional. Seringkali pengawas hanya berpura – pura tidak tahu dengan membaca koran, atau tidak memandang yang bersangkutan. Hal ini dilakukan karena pengawas juga tidak ingin siswa di sekolahnya dijaga ketat oleh pengawas ujian yang sedang bertugas di sekolahnya.
Ketiga, saat ujian nasional berlangsung, guru yang bersangkutan dengan mata pelajaran UN bersembunyi di ruang rahasia yang telah disiapkan beberapa hari sebelumnya untuk ikut mengerjakan soal ujian nasional juga. Biasanya soal yang dikerjakan oleh guru ini akan lebih cepat selesai daripada yang dikerjakan para siswa. Dengan asumsi bahwa sebelum 45 atau 30 menit sebelum ujian berakhir para guru sudah selesai mengerjakan soal yang  diujikan. Setelah selesai, jawaban para guru ini didistribusikan ke toilet atau ruangan yang sudah dijanjikan sebelumnya untuk pengambilan jawaban.
Keempat, kemudian mulailah ponsel para siswa bergetar, terutama para “petugas” pembagi jawaban yang ditugaskan untuk mengambil jawaban di toilet atau tempat yang sudah dijanjikan oleh para guru. pada saat inilah siswa berbondong – bondong izin ke toilet untuk mengambil jawaban ujian nasional. Di toilet “petugas” ini akan mendapati sebuah kertas kecil yang berisikan sebagian besar dari jawaban ujian nasional. Ada juga beberapa skenario lain, misalnya siswa tidak perlu ke toilet, cukup guru yang bertugas membagi jawaban melalui pesan singkat ponsel.
Kelima, setelah para “petugas” kembali ke kelas maka skenario berikutnya dimulai yakni, membagi – bagi jawaban ke siswa lainnya. Pembagian jawaban sudah disiapkan dengan berbagai mekanisme yang telah disusun para siswa di kelas. Meskipun paket soal berbeda – beda, siswa akan tetap tidak kesulitan karena sudah menyusun berbagai mekanisme pembagian jawaban yang sudah disiapkan ketika datang pagi lebih awal. Disini biasanya pengawas akan berpura – pura ngobrol, membaca koran dan lain – lain, yang penting siswa tidak berisik, para pengawas akan membiarkan siswanya mencontek.
Terakhir, ujian nasional hari pertama selesai dan mempersiapkan strategi untuk menghadapi ujian nasional besoknya. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa biasanya pengawas ujian nasional dengan sekolah yang bersangkutan sudah mengadakan kerjasama. Maka biasanya pada akhir  ujian, pihak sekolah akan memberikan hadiah berupa bingkisan kepada para pengawas ujian nasional tersebut atas rasa terimakasih sudah melonggarkan siswanya untuk berbuat curang.
Seringkali jika ada siswa yang tidak lulus ujian nasional ini adalah siswa yang malahan tidak berbuat curang. Ujian nasional berbasis curang seperti ini menimbulkan efek domino, dimana jika kita tidak memilih untuk terlibat, kita sendiri yang akan kena getahnya. Contohnya siswa yang tidak lulus ujian karena mencoba tidak ikut – ikutan untuk berbuat curang. Atau pengawas yang mengawasi dengan tegas, seringkali mendapat kecaman dan dikucilkan dari perkumpulan pengawas dan guru.
Harusnya hal pertama yang diatasi pemerintah adalah pemerataan pendidikan. Bagaimana siswa yang kaya maupun yang miskin mendapatkan pendidikan yang adil. Idealnya siswa – siswa yang kurang mampu dapat mendapatkan pendidikan suplemen dan buku – buku penunjang layaknya siswa lainnya. Sebagai contoh misalkan ada soal ujian nasional tentang kereta api. Bagi siswa yang keseharian hidup di pulau jawa mungkin hal yang biasa, namun bagaimana bila pertanyaan itu diajukan pada siswa dipedalaman papua yang masih minim infrastruktur? Pasti siswa itu akan bingung. Oleh karena itu lebih bijaksana jika pemerintah menyoroti pemerataan pendidikan sebelum tindak lanjut ke ujian nasional yang berskala global.

CHAIRUL ANAM BAGUS HAQQIASMI
FISIP Universitas Indonesia
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

1 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Angkringan Intelektual
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top