I don't want a lot of things. I just want to invite you to think together!

Pages

Wednesday 14 May 2014

Memahami Tuhan 2



"Galileo menciptakan teleskop untuk meneropong alam semesta
Edison menciptakan lampu untuk menerangi dunia
Davinci menciptakan monalisa untuk mengindahkan dunia
Siapa yang menciptakan Galileo, Edison dan Davinci?
Apakah hanya sebatas pertemuan sperma dan ovum?"

Jika pada tulisan saya pertama, saya sudah banyak menyampaikan bagaimana cara memahami Tuhan sebagai entitas yang Maha dengan berbagai tinjauan kritis. Maka pada tulisan kedua ini saya tertarik untuk membahas dari sudut etimologis (bagaimana cara mendapatkan pemahaman yang benar mengenai Tuhan), serta masalah masalah pemahaman Tuhan bagi kebanyakan masyarakat.

Jika kita ingin memahami Tuhan tentulah kita harus bicara tentang kebenaran dulu disini. Banyak orang berpikir yang namanya kebenaran di dunia ini relatif, kebenaran menurut orang Tmur belum tentu sama dengan kebenaran orang barat. Misalkan dalam budaya timur (saya disini mengambil contoh orang Tionghoa) orang bisa dikatakan makan secara benar jika menggunakan sumpit, sedangkan pada masyarakat barat makan menggunakan sumpit adalah hal yang dianggap aneh dan “tidak benar”. Pandangan masyarakat tentang makan ya harus menggunakan sendok, garpu dan pisau.

Seringkali doktrin – doktrin seperti ini digunakan oleh kaum pluralis untuk melegitimasi bahwa kebenaran di dunia itu relatif dan tidak berlaku universal. Saya menolak anggapan ini. Dalam kasus diatas dipersoalkan mengenai tata cara menyantap makanan, tentu hal  ini bukanlah definisi tentang etika. Contoh diatas lebih mengarah pada etiket (etiket itu lebih berbicara pada tata cara orang melakukan sesuatu, bukan pada benar salah melakukan sesuatu), sedangkan etika (membicarakan masalah benar dan salah) merupakan suatu kebenaran yang universal sifatnya. Contoh dari etika adalah dalam hal tolong menolong misalnya. Siapa yang melegitimasi menolong orang adalah perbuatan yang buruk? Saya yakin orang diseluruh dunia akan beranggapan sama bahwa menolong ini adalah perbuatan baik. atau misalkan, pandangan mengenai perbuatan membunuh. Saya yakin diseluruh dunia pasti setuju bila membunuh adalah perbuatan jahat.

Ada juga sebuah paradoks tentang kasus pembunuhan yang coba direlatifkan oleh akal manusia. Misalnya,kita ambil contoh kasus tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.  Seorang pahlawan bagi kita adalah kusuma bangsa, yang perbuatannya mulia. Akan tetapi disinilah terjadi paradoks. Bukankah pahlawan itu juga membunuh orang? lalu apakah itu perbuatan jahat? Tentu dengan sudut pandang kita sebagai orang Indonesia tentu kita akan mengatakan bahwa itu perbuatan baik. Ideologi kita sebagai seseorang yang dirugikan akan langsung mengatakan hal tersebut. Tetapi kita lupa bahwa kita juga tidak menggunakan sudut pandang sebagai orang Belanda, bagi orang Belanda yang prajuritnya mati karena dibunuh, pasti menganggap perbuatan para pahlawan membunuh prajuritnya adalah sesuatu yang jahat dan kejam. Sampai disini kita sampai pada konsep humanisme universal, dimana suatu kebenaran berlaku mutlak. Untuk lebih jelasnya pertanyaan ini mungkin lebih membantu kita memahami kebenaran universal tersebut, apakah menyelesaikan konflik dengan membunuh itu baik? saya yakin jika masalah ini ditarik secara objektif, membunuh orang tetaplah sesuatu yang jahat. 

Dalam perdebatan mengenai etika diatas kita bisa menarik kesimpulan bahwa yang namanya kebenaran itu adalah sesuatu yang universal. Masalahnya sebenarnya apa yang menuntun manusia kepada kebenaran sejati sehingga pendapat seseorang mengenai pembunuhan sebagai sesuatu hal  yang jahat adalah sama? Saya berasumsi bahwa akallah yang menuntun manusia untuk mengidentifikasi benar dan salah. Pendapat tentang akal yang menuntun manusia kebenaran ini sebenarnya sudah lama ada sejak dicetuskan oleh Plato. Plato berasumsi bahwa akal bersifat universal untuk menentukan benar dan salah, sedangkan keindahan adalah suatu yang relatif. Contohnya jika seseorang menanyai warna apa yang paling indah dari pelangi, tentu jawaban orang berbeda – beda, inilah yang dinamakan keindahan sebagai suatu yang relatif. Sedangkan akal justru sebaliknya, jawaban dari penalaran selalu mengerucut ke kebenaran yang universal. Akal kita secara bawaan mampu untuk mengkategorikan mana tindakan benar dan mana tindakan yang salah. Jika kita sudah sampai pada kesimpulan ini, kita pasti mulai bertanya – tanya. Jika akal dapat menuntun manusia ke kebenaran yang sifatnya universal, pastilah akal juga dapat menuntun kita untuk mencari pemahaman yang benar mengenai Tuhan. sampai disini bukankah sangat logis pertanyaan tersebut?

Jika kita sudah sampai pada argumen bahwa kita bisa memahami Tuhan melalui pemahaman  akal. akan timbul lagi pertanyaan bagaimana menggunakan akal secara benar untuk memahami Tuhan? saya beranggapan ada dua cara menggunakan logika secara benar untuk memahami Tuhan. kedua kerangka logika berpikir tersebut adalah berpikir deduktif dan berpikir induktif. Keduanya sudah terbukti mampu dan berhasil mengembangkan metodologinya di ilmu pengetahuan modern.  Kemajuan ilmu pengetahuan modern ini secara tidak sadar semakin mendekatkan kita pada kebenaran tentang Tuhan.

Pertama tama saya akan membahas tentang logika deduktif. Jika belajar berpikir deduktif, logika ini banyak dipakai dalam matematika. Logika ini ada berdasarkan kerangka berpikir dari hal – hal yang bersifat umum, ke hal – hal yang bersifat khusus. Sifat dari logika ini adalah membuktikan sesuatu. Misalnya silogisme dari cabang ilmu logika matematika, selalu diawali dengan premis umum, yang diakhiri dengan kesimpulan khusus di akhirnya. Untuk lebih jelasnya mungkin contoh ini dapat sedikit membantu         :

Premis Mayor    :               Semua binatang adalah ciptaan Tuhan
Premis Minor     :               Burung adalah binatang
Kesimpulan        :               Burung adalah ciptaan Tuhan

Dalam contoh ini terlihat bagaimana pola yang bersifat umum dan sangat luas dari premis mayor, dideduksi menjadi kesimpulan baru yang bersifat khusus. Sifat dari deduksi adalah jika premis - premisnya salah maka dapat dipastikan kesimpulan salah. Akan tetapi jika premisnya benar, dapat dipastikan 100% kesimpulannya adalah benar. Dalam contoh diatas saya mengambil contoh yang sederhana sehingga mudah dipahami, tetapi percayalah dalam penerapan dikehidupan, tidak akan berjalan sesederhana itu. Saya akan langsung mencontohkan cara – cara memahami Tuhan secara deduktif. Dalam kerangka ini saya mencontohkan tentang ayat – ayat di kitab suci sebagai  premis mayor. Misalnya dalam agama samawi ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan Maha Besar. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa yang namanya Maha Besar berarti sesuatu yang terbesar. Jika kita membayangkan dalam angan – angan kita bahwa di dunia ini bayangan kita tentang Tuhan adalah sebesar Matahari, maka berarti Tuhan tidak Maha Besar, karena galaksi bima sakti jauh lebih besar daripada Tuhan. jika kita berfikir bahwa Tuhan adalah sebesar galaksi bima sakti, berarti Tuhan juga bukan Maha Besar, karena jagad raya lebih besar daripada galaksi bima sakti. 

Intinya selama kita bisa membayangkan ruang hampa di sekitar Tuhan berarti Tuhan bukanlah Maha Besar, karena ruang hampa di sekitarnya jauh lebih besar daripada Tuhan. dari sini kita sampai pada kesimpulan deduksi bahwa kebesaran Tuhan tidak bisa didefinisikan secara pasti besarnya karena sifat yang Maha adalah sifat yang tidak dapat diperbandingkan. Selama kita bisa memperbandingkan besarNya berarti kita gagal dalam berdeduksi logika. Contoh kongkritnya siapa yang bisa melihat sudut dalam lingkaran? Sifat dari lingkaran yang memiliki sudut tak terhingga, atau yang maha sudut membuat kita tidak bisa melihat adanya sudut dalam suatu lingkaran. Begitu juga dengan Tuhan, jika besarnya Tuhan adalah tak berhingga maka seharusnya kita memang tidak bisa melihat Tuhan. dengan begitu kita sampai pada kesimpulan bahwa ayat dalam kitab suci agama samawi bahwa Tuhan adalah Maha Besar merupakan sesuatu yang benar secara deduktif. Akan tetapi kita ingat dalam prinsip pola berpikir deduktif ini, bergantung pada kebenaran premis – premisnya, artinya jika premisnya salah pasti kesimpulannya salah. Begitu juga dengan kitab suci yang akan kita deduksikan, jika kitab suci yang kita deduksikan salah maka kita tidak akan menemukan kesimpulan yang benar. Dari kelemahan logika deduktif yang apriori ini maka perlulah logika induktif untuk mengecek apakah ayat pada kitab suci tersebut benar atau salah.

Logika kedua dalam penalaran adalah logika induktif. Logika ini sering digunakan para ilmuan untuk menemukan suatu gejala – gejala baru berdasarkan interpretasi terhadap hal – hal yang bersifat khusus. Gampangnya prinsip logika ini adalah kebalikan dari deduktif, yaitu dari khusus ke umum. Usaha logika induktif adalah usaha untuk menemukan hal – hal baru (dalam ilmu pengetahuan biasanya ditandai dengan berbagai penemuan). Contoh dari logika induktif ini adalah: 

Premis 1               :               Kambing jantann mempunyai jantung
Premis 2               :               Kambing betina mempunyai jantung
Kesimpulan        :               Semua kambing mempunyai jantung

Dalam penerapanya logika induktif juga tidak sesederhana ini. Dalam contoh kasus ini kita bisa mengambil beberapa kasus dari penemuan para ilmuan. Misalnya ketika Isaac Newton diatas pohon apel, dan melihat apel yang jatuh, serta menjelaskan gerakan planet – planet, Newton menarik kesimpulan bahwa ada gaya tarik yang kita kenal sebagai gravitasi yang menarik benda. dalam ilmu fisika juga ada perdebatan panjang mengenai unsur dasar dari sebuah cahaya, apakah cahaya itu gelombang atau sebuah partikel? Dalam perdebatan ini belum ditemukan sifat secara pasti dari cahaya, sehingga dalam perdebatan ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa ada entitas yang lebih tiiggi dari semua kejadian alam semesta ini. Tidak mungkin ada cahaya jika tidak ada yang menciptakan. Begitu juga dengan alam semesta yang sangat besar ini. Seluruh hidup manusia tidak akan bisa mengkaji semua hal dari kosmologi alam semesta ini. Pada dasarnya umur manusia rata – rata hany mencapai 60 – 70 tahun. Tidak mungkin cukup untuk meneliti semua fenomena alam semesta yang ada. Dan jika sifat Tuhan adalah yang Maha Pencipta, berarti penciptaan Tuhan terhadap dunia ini bersifat tak terhingga sehingga mustahil di masa depan manusia dapat menjawab segala hal yang ada di dunia dengan ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, peran ilmu pengetahuan dalam logika induktif/penemuan – penemuan mutakhir hanya bersifat mendekatkan diri dengan kebenaran Tuhan, tetapi tak akan pernah benar – benar menemukan semua misteri yang ada di alam semesta ini.

Dari kasus diatas kita melihat proses logika deduktif maupun induktif merupakan suatu rangkaian proses penalaran yang dialektis (secara terus menerus beriringan). Hubungan antara logika deduktif dan induktif ini terbukti dalam salah satu agama samawi. Misalnya penemuan teori relativitas oleh Einstein secara induktif yang mengatakan bahwa gerak benda adalah relatif terhadap benda – benda yang lainnya. Jika kita melihat gunung, seakan – akan gunung itu diam, tapi apakah benar begiitu? Gunung sebenarnya bergerak, tetapi kita merasa bahwa gunung tidak bergerak karena kita berpijak pada bumi, jadi kita sama – sama bergerak bersama bumi, sehingga kelihatanya kita tidak bergerak, padahal sebenarnya bumi bergerak berotasi dan berevolusi (kita berotasi di bumi bersama gunung). Lalu apa yang menyebabkan kita ditarik oleh bumi? dalam teori relativitas, Einstein mengatakan bahwa ada lengkungan dari dimensi ruang dan waktu yang membuat kita tertarik ke bumi yang disebut dengan gaya gravitasi. Saya akan mencoba mencontohkan kasus yang lebih sederhana. Misalnya kita sedang di dalam kereta, di dalam kereta tersebut kita bisa melemparkan sebuah apel. Logisnya jika kita bergerak harusnya apel itu terlempar ke jauh ke ujung dunia yang lain, namun kenyataannya apel itu jatuh lurus ke bawah saat kita di kereta, sehingga kita bisa menangkapnya. Pada intinya yang namanya gerakan adalah relatif, dalam artian benda bergerak relatif terhadap benda yang lainnya. Dalam kasus diatas, gerak kereta api adalah relatif terhadap gerak bumi. Atau contoh sederhanya mungkin kita bisa memulai dengan contoh yang lebih sederhana. Kita mengatakan tikus lebih kecil dari kucing. Namun apabila kita hanya menyebut tikus tanpa suatu besaran relatif terhadap benda lain(kucing misalnya) kita tidak dapat mendefinisikan tikus itu kecil atau besar. Secara deduktif penemuan teori relativitas Einstein ini juga bisa dibuktikan dalam dalam kitab suci umat Islam.

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya. Padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: An-Naml:88).

Tidak hanya dalam kitab suci Islam, beberapa kebenaran juga saya temukan di kitab – kitab lain, seperti gerak matahari, namun disini saya tidak akan mencontohkan itu karena keterbatasan informasi. Untuk itu saya mengambil contoh dari kitab suci Islam. Disini jelas – jelas kitab ini mengatakan bahwa gunung – gunung itu bergerak, persis seperti apa yang Einstein temukan. Dari kesimpulan diatas kita bisa menarik kesimpulan bahwa kebenaran mengenai Tuhan dapat dilacak melalui proses dialektika bernalar. Namun timbul suatu masalah lagi, apakah bisa manusia menemukan semua misteri tentang alam semesta ini dengan menggunakan akal? tentu tidak semuanya kita bisa temukan, karena hakikat dari sifat Tuhan yang  Maha, tidak akan pernah sampai pada pengungkapan seluruh misteri Ilahi. Dari sini saya setuju dengan pernyataan Teolog  Kristen abad pertengahan St Thomas Aquinas bahwa kebenaran Tuhan dicapai melalui akal dan iman. Setengah jalan yang kita lalui dalam proses menggunakan akal itu sudah mendekatkan kita pada pembenaran adanya Tuhan. namun kita juga sadar sebagai manusia kita tidak dapat memecahkan segala misteri yang ada. Untuk itulah iman ada sebagai partner dari akal untuk menemukan Tuhan yang sejati. 

Keduanya merupakan aspek yang penting yang tidak bisa ditinggalkan satu sama lain. Jika kita hanya menggunakan iman, maka kita akan mudah termakan oleh dogma – dogma ajaran agama yang picik. Tidakkah kita belajar dari abad pertengahan eropa yang suram, karena dogma gereja yang salah difungsikan seperti penjualan surat pengampunan dosa untuk umatnya? Disinilah peran akal, untuk menyaring mana yang benar dan mana yang salah. Akal tanpa iman juga akan berujung pada pencarian kebenaran tiada akhir. mengingat umur manusia yang pendek siapa yang bisa menyingkap seluruh misteri alam semesta? Untuk itulah iman dan akal berjalan saling beriringan dalam mencapai kebenaran sejati. 

Lalu muncul suatu masalah yang banyak dipertanyakan orang. Mampukah semua orang memahami Tuhan dengan cara seperti ini? Mengingat tidak semua orang memiliki akses pendidikan yang baik untuk mengembangkan akalnya. Bahkan beberapa orang diragukan dapat berfikir sekompleks itu.Untuk menjawab ini saya setuju dengan pernyataan Socrates yang mengatakan bahwa “akal seorang budak sama dengan akal seorang pria terhormat”. Disini Socrates menyimpulkan bahwa semua orang dapat mencapai pemahaman filosofis asalkan dia mau berfikir. Lalu bagaimana kaitannya dengan kecerdasan/IQ? Jika kita ingat tentang konsep IQ, konsep ini bukanlah ukuran kecerdasan mutlak seseorang, tetapi ukuran kemampuan otak seberapa cepat merespons stimulus untuk berfikir konvergen. Orang dengan IQ lebih rendah memang boleh jadi lebih lambat dalam berfikir logis, namun bukan berarti tidak memiliki akal. semua manusia memiliki akal, dan mampu memahami asalkan mau dan berani untuk berfikir. Itu kenapa tidak jadi alasan orang mau secerdas apa, yang penting adalah bagaimana dia mau berfikir menggunakan akalnya. Dari situlah dia menemukan keselarasan dengan Tuhannya. Dari situlah pencarian akan Tuhannya berujung pada kebahagiaan batin yang dituntun oleh iman dan akal.


Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Depok, 14 Mei 2014
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Angkringan Intelektual
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top