"Galileo menciptakan teleskop untuk meneropong alam semesta
Edison menciptakan lampu untuk menerangi dunia
Davinci menciptakan monalisa untuk mengindahkan dunia
Siapa yang menciptakan Galileo, Edison dan Davinci?
Apakah hanya sebatas pertemuan sperma dan ovum?"
Jika
pada tulisan saya pertama, saya sudah banyak menyampaikan bagaimana cara
memahami Tuhan sebagai entitas yang Maha dengan berbagai tinjauan kritis. Maka
pada tulisan kedua ini saya tertarik untuk membahas dari sudut etimologis
(bagaimana cara mendapatkan pemahaman yang benar mengenai Tuhan), serta masalah
masalah pemahaman Tuhan bagi kebanyakan masyarakat.
Jika
kita ingin memahami Tuhan tentulah kita harus bicara tentang kebenaran dulu
disini. Banyak orang berpikir yang namanya kebenaran di dunia ini relatif,
kebenaran menurut orang Tmur belum tentu sama dengan kebenaran orang barat.
Misalkan dalam budaya timur (saya disini mengambil contoh orang Tionghoa) orang
bisa dikatakan makan secara benar jika menggunakan sumpit, sedangkan pada
masyarakat barat makan menggunakan sumpit adalah hal yang dianggap aneh dan
“tidak benar”. Pandangan masyarakat tentang makan ya harus menggunakan sendok,
garpu dan pisau.
Seringkali
doktrin – doktrin seperti ini digunakan oleh kaum pluralis untuk melegitimasi
bahwa kebenaran di dunia itu relatif dan tidak berlaku universal. Saya menolak
anggapan ini. Dalam kasus diatas dipersoalkan mengenai tata cara menyantap
makanan, tentu hal ini bukanlah definisi
tentang etika. Contoh diatas lebih mengarah pada etiket (etiket itu lebih
berbicara pada tata cara orang melakukan sesuatu, bukan pada benar salah
melakukan sesuatu), sedangkan etika (membicarakan masalah benar dan salah)
merupakan suatu kebenaran yang universal sifatnya. Contoh dari etika adalah
dalam hal tolong menolong misalnya. Siapa yang melegitimasi menolong orang
adalah perbuatan yang buruk? Saya yakin orang diseluruh dunia akan beranggapan
sama bahwa menolong ini adalah perbuatan baik. atau misalkan, pandangan
mengenai perbuatan membunuh. Saya yakin diseluruh dunia pasti setuju bila
membunuh adalah perbuatan jahat.
Ada
juga sebuah paradoks tentang kasus pembunuhan yang coba direlatifkan oleh akal
manusia. Misalnya,kita ambil contoh kasus tentang perjuangan kemerdekaan
Indonesia melawan Belanda. Seorang
pahlawan bagi kita adalah kusuma bangsa, yang perbuatannya mulia. Akan tetapi
disinilah terjadi paradoks. Bukankah pahlawan itu juga membunuh orang? lalu
apakah itu perbuatan jahat? Tentu dengan sudut pandang kita sebagai orang
Indonesia tentu kita akan mengatakan bahwa itu perbuatan baik. Ideologi kita
sebagai seseorang yang dirugikan akan langsung mengatakan hal tersebut. Tetapi
kita lupa bahwa kita juga tidak menggunakan sudut pandang sebagai orang
Belanda, bagi orang Belanda yang prajuritnya mati karena dibunuh, pasti
menganggap perbuatan para pahlawan membunuh prajuritnya adalah sesuatu yang
jahat dan kejam. Sampai disini kita sampai pada konsep humanisme universal,
dimana suatu kebenaran berlaku mutlak. Untuk lebih jelasnya pertanyaan ini
mungkin lebih membantu kita memahami kebenaran universal tersebut, apakah
menyelesaikan konflik dengan membunuh itu baik? saya yakin jika masalah ini
ditarik secara objektif, membunuh orang tetaplah sesuatu yang jahat.
Dalam
perdebatan mengenai etika diatas kita bisa menarik kesimpulan bahwa yang
namanya kebenaran itu adalah sesuatu yang universal. Masalahnya sebenarnya apa
yang menuntun manusia kepada kebenaran sejati sehingga pendapat seseorang
mengenai pembunuhan sebagai sesuatu hal
yang jahat adalah sama? Saya berasumsi bahwa akallah yang menuntun
manusia untuk mengidentifikasi benar dan salah. Pendapat tentang akal yang
menuntun manusia kebenaran ini sebenarnya sudah lama ada sejak dicetuskan oleh
Plato. Plato berasumsi bahwa akal bersifat universal untuk menentukan benar dan
salah, sedangkan keindahan adalah suatu yang relatif. Contohnya jika seseorang
menanyai warna apa yang paling indah dari pelangi, tentu jawaban orang berbeda –
beda, inilah yang dinamakan keindahan sebagai suatu yang relatif. Sedangkan akal
justru sebaliknya, jawaban dari penalaran selalu mengerucut ke kebenaran yang
universal. Akal kita secara bawaan mampu untuk mengkategorikan mana tindakan
benar dan mana tindakan yang salah. Jika kita sudah sampai pada kesimpulan ini,
kita pasti mulai bertanya – tanya. Jika akal dapat menuntun manusia ke
kebenaran yang sifatnya universal, pastilah akal juga dapat menuntun kita untuk
mencari pemahaman yang benar mengenai Tuhan. sampai disini bukankah sangat
logis pertanyaan tersebut?
Jika
kita sudah sampai pada argumen bahwa kita bisa memahami Tuhan melalui pemahaman
akal. akan timbul lagi pertanyaan
bagaimana menggunakan akal secara benar untuk memahami Tuhan? saya beranggapan
ada dua cara menggunakan logika secara benar untuk memahami Tuhan. kedua
kerangka logika berpikir tersebut adalah berpikir deduktif dan berpikir
induktif. Keduanya sudah terbukti mampu dan berhasil mengembangkan
metodologinya di ilmu pengetahuan modern.
Kemajuan ilmu pengetahuan modern ini secara tidak sadar semakin
mendekatkan kita pada kebenaran tentang Tuhan.
Pertama
tama saya akan membahas tentang logika deduktif. Jika belajar berpikir
deduktif, logika ini banyak dipakai dalam matematika. Logika ini ada
berdasarkan kerangka berpikir dari hal – hal yang bersifat umum, ke hal – hal
yang bersifat khusus. Sifat dari logika ini adalah membuktikan sesuatu. Misalnya
silogisme dari cabang ilmu logika matematika, selalu diawali dengan premis
umum, yang diakhiri dengan kesimpulan khusus di akhirnya. Untuk lebih jelasnya
mungkin contoh ini dapat sedikit membantu :
Premis Mayor : Semua
binatang adalah ciptaan Tuhan
Premis Minor : Burung adalah binatang
Kesimpulan : Burung adalah ciptaan Tuhan
Premis Minor : Burung adalah binatang
Kesimpulan : Burung adalah ciptaan Tuhan
Dalam
contoh ini terlihat bagaimana pola yang bersifat umum dan sangat luas dari
premis mayor, dideduksi menjadi kesimpulan baru yang bersifat khusus. Sifat
dari deduksi adalah jika premis - premisnya salah maka dapat dipastikan
kesimpulan salah. Akan tetapi jika premisnya benar, dapat dipastikan 100%
kesimpulannya adalah benar. Dalam contoh diatas saya mengambil contoh yang
sederhana sehingga mudah dipahami, tetapi percayalah dalam penerapan dikehidupan,
tidak akan berjalan sesederhana itu. Saya akan langsung mencontohkan cara –
cara memahami Tuhan secara deduktif. Dalam kerangka ini saya mencontohkan
tentang ayat – ayat di kitab suci sebagai
premis mayor. Misalnya dalam agama samawi ada ayat yang mengatakan bahwa
Tuhan Maha Besar. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa yang namanya
Maha Besar berarti sesuatu yang terbesar. Jika kita membayangkan dalam angan –
angan kita bahwa di dunia ini bayangan kita tentang Tuhan adalah sebesar
Matahari, maka berarti Tuhan tidak Maha Besar, karena galaksi bima sakti jauh
lebih besar daripada Tuhan. jika kita berfikir bahwa Tuhan adalah sebesar
galaksi bima sakti, berarti Tuhan juga bukan Maha Besar, karena jagad raya
lebih besar daripada galaksi bima sakti.
Intinya
selama kita bisa membayangkan ruang hampa di sekitar Tuhan berarti Tuhan
bukanlah Maha Besar, karena ruang hampa di sekitarnya jauh lebih besar daripada
Tuhan. dari sini kita sampai pada kesimpulan deduksi bahwa kebesaran Tuhan
tidak bisa didefinisikan secara pasti besarnya karena sifat yang Maha adalah
sifat yang tidak dapat diperbandingkan. Selama kita bisa memperbandingkan
besarNya berarti kita gagal dalam berdeduksi logika. Contoh kongkritnya siapa
yang bisa melihat sudut dalam lingkaran? Sifat dari lingkaran yang memiliki
sudut tak terhingga, atau yang maha sudut membuat kita tidak bisa melihat
adanya sudut dalam suatu lingkaran. Begitu juga dengan Tuhan, jika besarnya
Tuhan adalah tak berhingga maka seharusnya kita memang tidak bisa melihat Tuhan.
dengan begitu kita sampai pada kesimpulan bahwa ayat dalam kitab suci agama
samawi bahwa Tuhan adalah Maha Besar merupakan sesuatu yang benar secara
deduktif. Akan tetapi kita ingat dalam prinsip pola berpikir deduktif ini,
bergantung pada kebenaran premis – premisnya, artinya jika premisnya salah
pasti kesimpulannya salah. Begitu juga dengan kitab suci yang akan kita
deduksikan, jika kitab suci yang kita deduksikan salah maka kita tidak akan
menemukan kesimpulan yang benar. Dari kelemahan logika deduktif yang apriori ini
maka perlulah logika induktif untuk mengecek apakah ayat pada kitab suci
tersebut benar atau salah.
Logika
kedua dalam penalaran adalah logika induktif. Logika ini sering digunakan para
ilmuan untuk menemukan suatu gejala – gejala baru berdasarkan interpretasi
terhadap hal – hal yang bersifat khusus. Gampangnya prinsip logika ini adalah
kebalikan dari deduktif, yaitu dari khusus ke umum. Usaha logika induktif
adalah usaha untuk menemukan hal – hal baru (dalam ilmu pengetahuan biasanya
ditandai dengan berbagai penemuan). Contoh dari logika induktif ini adalah:
Premis 1 : Kambing
jantann mempunyai jantung
Premis 2 : Kambing betina mempunyai jantung
Kesimpulan : Semua kambing mempunyai jantung
Premis 2 : Kambing betina mempunyai jantung
Kesimpulan : Semua kambing mempunyai jantung
Dalam
penerapanya logika induktif juga tidak sesederhana ini. Dalam contoh kasus ini
kita bisa mengambil beberapa kasus dari penemuan para ilmuan. Misalnya ketika Isaac
Newton diatas pohon apel, dan melihat apel yang jatuh, serta menjelaskan
gerakan planet – planet, Newton menarik kesimpulan bahwa ada gaya tarik yang
kita kenal sebagai gravitasi yang menarik benda. dalam ilmu fisika juga ada
perdebatan panjang mengenai unsur dasar dari sebuah cahaya, apakah cahaya itu
gelombang atau sebuah partikel? Dalam perdebatan ini belum ditemukan sifat
secara pasti dari cahaya, sehingga dalam perdebatan ini kita bisa menarik
kesimpulan bahwa ada entitas yang lebih tiiggi dari semua kejadian alam semesta
ini. Tidak mungkin ada cahaya jika tidak ada yang menciptakan. Begitu juga
dengan alam semesta yang sangat besar ini. Seluruh hidup manusia tidak akan bisa
mengkaji semua hal dari kosmologi alam semesta ini. Pada dasarnya umur manusia
rata – rata hany mencapai 60 – 70 tahun. Tidak mungkin cukup untuk meneliti
semua fenomena alam semesta yang ada. Dan jika sifat Tuhan adalah yang Maha Pencipta,
berarti penciptaan Tuhan terhadap dunia ini bersifat tak terhingga sehingga
mustahil di masa depan manusia dapat menjawab segala hal yang ada di dunia
dengan ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, peran ilmu pengetahuan dalam logika
induktif/penemuan – penemuan mutakhir hanya bersifat mendekatkan diri dengan kebenaran
Tuhan, tetapi tak akan pernah benar – benar menemukan semua misteri yang ada di
alam semesta ini.
Dari
kasus diatas kita melihat proses logika deduktif maupun induktif merupakan
suatu rangkaian proses penalaran yang dialektis (secara terus menerus
beriringan). Hubungan antara logika deduktif dan induktif ini terbukti dalam
salah satu agama samawi. Misalnya penemuan teori relativitas oleh Einstein
secara induktif yang mengatakan bahwa gerak benda adalah relatif terhadap benda
– benda yang lainnya. Jika kita melihat gunung, seakan – akan gunung itu diam,
tapi apakah benar begiitu? Gunung sebenarnya bergerak, tetapi kita merasa bahwa
gunung tidak bergerak karena kita berpijak pada bumi, jadi kita sama – sama bergerak
bersama bumi, sehingga kelihatanya kita tidak bergerak, padahal sebenarnya bumi
bergerak berotasi dan berevolusi (kita berotasi di bumi bersama gunung). Lalu apa
yang menyebabkan kita ditarik oleh bumi? dalam teori relativitas, Einstein
mengatakan bahwa ada lengkungan dari dimensi ruang dan waktu yang membuat kita
tertarik ke bumi yang disebut dengan gaya gravitasi. Saya akan mencoba
mencontohkan kasus yang lebih sederhana. Misalnya kita sedang di dalam kereta,
di dalam kereta tersebut kita bisa melemparkan sebuah apel. Logisnya jika kita
bergerak harusnya apel itu terlempar ke jauh ke ujung dunia yang lain, namun
kenyataannya apel itu jatuh lurus ke bawah saat kita di kereta, sehingga kita
bisa menangkapnya. Pada intinya yang namanya gerakan adalah relatif, dalam
artian benda bergerak relatif terhadap benda yang lainnya. Dalam kasus diatas,
gerak kereta api adalah relatif terhadap gerak bumi. Atau contoh sederhanya
mungkin kita bisa memulai dengan contoh yang lebih sederhana. Kita mengatakan
tikus lebih kecil dari kucing. Namun apabila kita hanya menyebut tikus tanpa
suatu besaran relatif terhadap benda lain(kucing misalnya) kita tidak dapat
mendefinisikan tikus itu kecil atau besar. Secara deduktif penemuan teori
relativitas Einstein ini juga bisa dibuktikan dalam dalam kitab suci umat
Islam.
“Dan kamu lihat
gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya. Padahal ia berjalan
sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan
kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS: An-Naml:88).
Tidak
hanya dalam kitab suci Islam, beberapa kebenaran juga saya temukan di kitab –
kitab lain, seperti gerak matahari, namun disini saya tidak akan mencontohkan
itu karena keterbatasan informasi. Untuk itu saya mengambil contoh dari kitab
suci Islam. Disini jelas – jelas kitab ini mengatakan bahwa gunung – gunung itu
bergerak, persis seperti apa yang Einstein temukan. Dari kesimpulan diatas kita
bisa menarik kesimpulan bahwa kebenaran mengenai Tuhan dapat dilacak melalui
proses dialektika bernalar. Namun timbul suatu masalah lagi, apakah bisa
manusia menemukan semua misteri tentang alam semesta ini dengan menggunakan
akal? tentu tidak semuanya kita bisa temukan, karena hakikat dari sifat Tuhan
yang Maha, tidak akan pernah sampai pada
pengungkapan seluruh misteri Ilahi. Dari sini saya setuju dengan pernyataan Teolog Kristen abad pertengahan St Thomas Aquinas
bahwa kebenaran Tuhan dicapai melalui akal dan iman. Setengah jalan yang kita
lalui dalam proses menggunakan akal itu sudah mendekatkan kita pada pembenaran
adanya Tuhan. namun kita juga sadar sebagai manusia kita tidak dapat memecahkan
segala misteri yang ada. Untuk itulah iman ada sebagai partner dari akal untuk
menemukan Tuhan yang sejati.
Keduanya
merupakan aspek yang penting yang tidak bisa ditinggalkan satu sama lain. Jika kita
hanya menggunakan iman, maka kita akan mudah termakan oleh dogma – dogma ajaran
agama yang picik. Tidakkah kita belajar dari abad pertengahan eropa yang suram,
karena dogma gereja yang salah difungsikan seperti penjualan surat pengampunan
dosa untuk umatnya? Disinilah peran akal, untuk menyaring mana yang benar dan
mana yang salah. Akal tanpa iman juga akan berujung pada pencarian kebenaran
tiada akhir. mengingat umur manusia yang pendek siapa yang bisa menyingkap
seluruh misteri alam semesta? Untuk itulah iman dan akal berjalan saling
beriringan dalam mencapai kebenaran sejati.
Lalu
muncul suatu masalah yang banyak dipertanyakan orang. Mampukah semua orang
memahami Tuhan dengan cara seperti ini? Mengingat tidak semua orang memiliki
akses pendidikan yang baik untuk mengembangkan akalnya. Bahkan beberapa orang
diragukan dapat berfikir sekompleks itu.Untuk menjawab ini saya setuju dengan
pernyataan Socrates yang mengatakan bahwa “akal
seorang budak sama dengan akal seorang pria terhormat”. Disini Socrates
menyimpulkan bahwa semua orang dapat mencapai pemahaman filosofis asalkan dia
mau berfikir. Lalu bagaimana kaitannya dengan kecerdasan/IQ? Jika kita ingat
tentang konsep IQ, konsep ini bukanlah ukuran kecerdasan mutlak seseorang,
tetapi ukuran kemampuan otak seberapa cepat merespons stimulus untuk berfikir
konvergen. Orang dengan IQ lebih rendah memang boleh jadi lebih lambat dalam
berfikir logis, namun bukan berarti tidak memiliki akal. semua manusia memiliki
akal, dan mampu memahami asalkan mau dan berani untuk berfikir. Itu kenapa
tidak jadi alasan orang mau secerdas apa, yang penting adalah bagaimana dia mau
berfikir menggunakan akalnya. Dari situlah dia menemukan keselarasan dengan
Tuhannya. Dari situlah pencarian akan Tuhannya berujung pada kebahagiaan batin
yang dituntun oleh iman dan akal.
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Depok, 14 Mei 2014
0 comments