“Demokrasi hanya dapat berjalan
jika rakyatnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan ekonomi yang mapan”
Begitulah kira
– kira kutipan dari pemikiran Aristoteles, seorang filsuf yang hidup kurang
lebih 300 tahun sebelum masehi. Jika aku refleksikan dengan kehidupan sehari –
hari memang begitulah kenyataannya. Sebagai contoh, coba kita lihat di sebagian
besar daerah di seluruh Indonesia. Jika ada pilkada di suatu daerah, maka yang
menang adalah yang melakukan money politik, yang punya uang untuk publikasi
besar - besaran dan politik pencitraan lainnya. Dari sini kita bisa
menganalisis bahwa :
- Money politik selalu menang karena rakyat memiliki kemampuan ekonomi yang rendah, dengan mudahnya rakyat mau disogok uang sepuluh ribu untuk memilih sang kepala daerah tersebut dikarenakan tuntutan ekonomi/memenuhi kebutuhan hidup yang serba sulit.
- Poin yang kedua adalah rakyat yang tingkat pendidikannya kurang, akan cenderung mudah dibodohi oleh para calon kepala daerah ini, misalnya diberikan uang sepuluh ribu untuk memilih calon pasangan tersebut. Mereka tidak berpikir panjang akan keadaan lima tahun setelah kepala daerah tersebut terpilih. Orang yang pendidikanya kurang cenderung memilih yang instan dan tidak memikirkan dampak ke depannya.
- “Seringkali kalau ada pemilihan umum yang menang bukan yang baik, tapi yang punya banyak pendukung”. Dari poin tersebut, kita tahu bahwa yang dipilih rakyat adalah yang populer, yang banyak pasang baliho besar – besar, yang nempel poster dimana – mana, yang pada intinya yang borjuis/punya uanglah yang menang.
- “Poin yang keempat adalah demokrasi sekarang menjadi alat legitimasi bagi mayoritas”. Sudah bukan rahasia lagi kalau demokrasi itu pada prinsipnya suara mayoritaslah yang dianggap sah. Lalu bagaimana degan minoritas? Tentu demokrasi semakin melenyapkan minoritas tersebut dkarenakan suara minoritas dianggap kalah. Pada praktiknya hal ini akan berlaku sangat sensitif untuk hal – hal yang berbau SARA. Contohnya mayoritas penduduk di Bali adalah menganut agama hindu, begitu juga di sekolah – sekolahnya. Ada seorang siswi di Bali yang dipaksa melepas kerudung karena dianggap tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada disana. Ada juga kejadian di Depok, ketika akan didirikan rumah peribadatan oleh etnis Tionghoa di daerah pondok cina, orang Betawi yang notabene Islamnya “kuat” menolak dan bersiap membakar rumah ibadat itu jika memang akan didirikan rumah peribadatan tersebut. Karena Betawi mayoritas, maka etnis Tionghoa pun mengalah, dan mendirikan rumah ibadatnya agak jauh dari daerah tersebut, tepatnya di Lenteng Agung. Dari kejadian ini bukankah kita bisa melihat bahwa suara minoritas lenyap? Demokrasi memang cenderung menggerus budaya mufakat.
Aku menulis
ini, bukan lantaran aku seorang otoriter ataupun sosialis radikal. Namun yang
kutulis ini adalah antitesis dari demokrasi. Seperti kata Hegel, sebuah ilmu
akan selalu mengalami masa tesis (fakta), antitesis (anti dari fakta tersebut)
dan sintesa (pemecahan masalah dari kedua fakta yang berlawanan tersebut. Tesisnya
disini adalah bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang baik, yang mampu
mengakomodasi seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi. Sedangkan antitesisnya
sudah aku ungkapkan seperti yang ada diatas, bahwa demokrasi menjai alat
legitimasi mayoritas, demokrasi bukan untuk orang “bodoh dan miskin” dan lain
sebagainya. Sedangkan sintesanya aku akan mengajukan beberapa hal yang
menurutku itu lebih baik dari demokrasi yang sekarang ini. Beberapa hal
tersebut adalah :
1. Keputusan itu bukan ditentukan orang banyak,
tetapi keputusan ditentukan oleh para ahli. Jika kita butuh kebijakan tentang pertambangan,
maka yang lebih bijak keputusan itu ditentukan oleh ahlinya di bidang pertambangan
tersebut. Jangan tanya pada tukang pos, jangan pula tanya pada dokter. Mereka mana
tahu tentang tambang? Tentu akan berantakan bila keputusan diambil oleh yang
bukan ahlinya. Disinilah kelemahan demokrasi yang berupaya mengakomodasi semua
pendapat masyarakat. “keputusan kok ditentukan orang banyak, keputusan ya
ditentukan oleh para ahli”.
2. Lalu yang jadi pertanyaan besar adalah bagaimana
untuk menentukan para ahli? Pertanyaan ini yang sering aku dapat dari teman –
temanku ketika aku berdiskusi mengenai hal ini. Tentu para ahli yang mengkader
dan menentukan adalah institusi – institusi yang kredibel, khususnya institusi
pendidikan. Siapa yang meragukan kemampuan profesor teknik di bidang teknologi?
Siapa pula yang meragukan kemampuan profesor ilmu sosial dalam hal pengembangan
masyarakat?. Pada kenyataannya sekarang orang – orang/para ahli seperti mereka
tidak dihargai karyanya di Indonesia. Itulah yang menyebabkan kebijakan
demokrasi kita semrawut. Bahkan teman saya pernah bertanya pada salah seorang
profesor di fakultas teknik UI. Kenapa Indonesia tidak memproduksi flashdisk
sendiri? hanya singkat jawaban dari profesor tersebut. Dia Cuma menjawab “politik”.
Itulah sintesa
dariku, meskipun aku pelajar yang masih belajar dan masih bodoh. Akan tetapi
lebih bodoh lagi kalo para stakeholder kita tidak menyadari ini dan malanjutkan
sistem yang ada sekarang. Janganlah kita mendewakan Amerika yang katanya bapak
demokrasi. Buktinya Amerika sekarang juga hutang sama China. Lalu bagaimana
yang terbaik? Menurutku yang terbaik adalah maksimalakan dan hargai para
ahli/ilmuan di negara sendiri, tidak hanya asal menjiplak sistem dari luar
negeri yang sebenarnya belum tentu bagus untuk kita. Indonesia belum siap
demokrasi yang bebas karena masih banyak yang berpendidikan rendah dan ekonomi
bawah. Jika kedua unsur tadi sudah terpenuhi pun, Indonesia tidak bisa juga
menerapkan demokrasi secara mutlak. Karena hakikatnya yang baik itu yang
berdemokrasi hanyalah para ahli, bukan semua rakyatnya. Semoga negara ini bisa
cepat berbenah.
Nganjuk, 9 Januari 2014
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Institusi-institusi kredibel itu yg menurutku belom dapat ditemukan di negara ini, institusi yg dianggap kredibel pun setelah masuk kedalam politik justru menunjukkan kemunafikan. Institusi2 kredibel ingin menyeleksi para kader?. How complicated is that! Mereka mungkin bisa menganalisis melalu kerja setiap kader selama masuk dalam politik, tapi untuk setelahnya pemilihan, apakah institusi bisa menjamin kepribadian orang bakal tetap melaksanakan pengabdian yg sesungguhnya?. MEnurutku untuk menegakkan politik yg benar, tegakkan dulu hukum di negara setegak2nya. Karena money politik bisa melemahkan kekuatan hukum negara.
ReplyDeleteTerus untuk kebodohan masyarakat, aku ingin menambahkan, menurutku pejabat yg terlibat KKN setelah terpilih itulah yg jauh lebih bodoh. Karena hanya orang bodoh yg masih takut kelaparan atau takut miskin padahal mereka berlimpah harta. How stupid they are!!
NOVANI KS