Dalam artikel yang ketiga ini saya akan lebih membahas tentang
kemutakhiran akal untuk menciptakan kebenaran universal. bagaimana dalam
tulisan ini saya mengambil contoh kasus dalam bahasa, kebudayaan, dan kognisi
untuk menjelaskan oposisi biner dalam kerangka pembuktian adanya Tuhan. Dalam
tulisan ini saya juga akan membahas atheisme sebagai wujud tersirat dari
pemahaman mengenai Tuhan.
Pertama – tama dalam kajian ini saya akan menceritakan tentang bahasa.
Ada dua orang ahli bahasa sekaligus antropolog yang pernah meneliti kajian antara kebudayaan
dan bahasa. Kedua peneliti tersebut adalah Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf,
keduanya meneliti tentang kajian bahasa dan mengeluarkan sebuah hipotesis,
hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir - Whorf. Hipotesis
Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh
bahasa dalam budaya kita. Untuk lebih pahamnya saya akan mencoba menjelaskan
hipotesis ini dengan contoh kasus di dunia nyata. Saya mengambil contoh
kebudayaan jawa dan kebudayaan barat. Dalam masyarakat jawa dikenal
penggolongan bahasa menjadi krama dan ngoko. Bahasa krama ini merupakan bahasa
yang halus, bahasa krama biasanya dipakai oleh kaum bangsawan, untuk
menghormati orang yang lebih tua dan untuk berbicara pada orang yang belum
dikenal maupun baru dikenal. Disini tergambar bahwa dari adanya penggolongan
bahasa yang hierarkis antara krama dan ngoko mencerminkan masyarakat jawa pada
dunia nyata juga mengenal hierarki – hierarki, dimana bangsawan dianggap tinggi
menggunakan bahasa krama dan dari sisi sebaliknya ada rakyat jelata yang
dianggap rendah menggunakan bahasa ngoko dalam kehidupan sehari – hari.
Sedangkan
pada masyarakat barat, tidak mengenal hierarki krama dan ngoko dalam bahasanya.
Orang barat memiliki bahasa yang egaliter atau setara. Bahkan jika di jawa
penyebutan mas dan mbak adalah penyebutan untuk menyebutkan orang yang lebih
tua, maka di barat sebaliknya. Di barat terkenal ungkapan brother dan sister,
bagaimana disini hubungan antara saudara tidak dilihat secara hierarki, namun
sejajar. Atau misalnya kita juga sering melihat orang barat memanggil orang tua
dengan nama mereka. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya bahasa
adalah cerminan dari dunia kebudayaaan. Bahasa orang jawa yang hierarkis,
mncerminkan dunia orang jawa yang hierarkis. Sedangkan bahasa barat yang
egaliter, mencerminkan dunia barat dalam kehidupan kesehariannya memang
menekankan prinsip kesetaraan. Disini kita mulai melihat tentang adanya
hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Dari sinilah kita mengambil bahasa
sebagai unit analisis untuk menemukan kebenaran Tuhan nantinya.
Dalam
setiap bahasa selalu dikenal sebuah oposisi biner. Pemikiran mengenai oposisi
biner ini disampaikan oleh Ferdinand de Saussure. Pada dasarnya oposisi biner
adalah kemampuan akal manusia untuk berfikir secara oposisi terhadap suatu
objek. Contohnya adalah gelap dan terang, hidup dan mati, baik dan jahat, hitam
dan putih. Percaya atau tidak percaya, cara berfikir ini ada di setiap
kebudayaan di dunia. Hal ini mencerminkan bahwa oposisi biner merupakan sesuatu
yang universal, yang dibelahan bumi manapun ada, bahkan pada kebudayaan paling
primitif sekalipun. Apakah benar demikian? Saya ambil contoh, misalnya di dunia
modern kita mengenal adanya siang dan malam, terang dan gelap. Tetapi ternyata
di suku dani yang terpencil di papua pun mengenal istilah siang dan malam,
terang dan gelap ini. Bagaimanakah menjelaskan fenomena ini?
Saya
berkesimpulan bahwa alam ini sengaja diciptakan oleh Sang Pencipta dengan
bentuk – bentuk oposisi biner supaya manusia sadar akan keberadaan Tuhan.
Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan seperti itu? pernahkah kita sadar kenapa
di dunia itu ada siang dan ada malam? Ada matahari yang menerangi kita, dan ada
juga malam yang gelap. Ada kelahiran ada juga kematian. Jika Ferdinand de
Saussure mengatakan bahwa oposisi biner adalah bawaan akal manusia, saya disini
malah berfikir bahwa alamlah yang membuat kita berfikir sedemikian rupa, alam
dibuat oleh Sang Pencipta dengan oposisi – oposisinya. Alam sebagaimana adanya
membuat oposisi – oposisi seperti siang dan malam, terang dan gelap.
Berdasarkan
pola berfikir oposisi biner ini, manusia mulai menyadari hal – hal yang
mendasar mengenai dirinya. Dia sadar bahwa dirinya bukanlah yang sempurna,
begitu juga manusia – manusia lain, semua diciptakan dengan keunikan, bakat dan
kekurangan masing – masing. Ada manusia yang dilahirkan dengan kecerdasan
tinggi tetapi malas, ada seseorang yang dilahirkan dengan fisik yang prima
namun miskin. Dari sini dia mulai menyadari bahwa dirinya tidaklah sempurna.
Dengan kerangka berpikir oposisi biner tadi, jika ada yang tidak sempurna
pastilah ada yang sempurna. Sampai disini pasti anda tahu yang saya maksudkan.
Manusia
mulai menyadari bahwa dirinya tidaklah sempurna dan pasti ada Dzat yang
sempurna di luar dirinya. Manusia mulai dihinggapi rasa takut karena setiap ada
kehidupan pasti ada kematian. Dari perenungan bahwa manusia tidak sempurna dan
ada Dzat yang sempurna, maka manusia mulai perlu untuk minta pertolongan pada
Dzat yang maha sempurna ini. Dari situlah lahir yang namanya agama. Kemampuan
bawaan akal manusia yang mampu mengidentifikasi benar dan salah tanpa sengaja
telah membentuk kerangka berfikir oposisi biner yang mendekatkan manusia dengan
Tuhannya. Mungkin pembaca menganggap ini hanyalah asumsi saya belaka, namun
saya memiliki bukti dari realita empiris yang tak terbantahkan bahwa di setiap
kebudayaan pasti mengenal yang namanya agama, atau dalam bentuk paling primitif
pun seperti kepercayaan – kepercayaan sederhana. Kepercayaan sederhana yang
kita kenal dengan istilah totemisme, animisme dan naturisme pun juga
mempercayai hal – hal yang berbau metafisika (diluar hal fisik). Ini
dikarenakan manusia menyadari bahwa dirinya tidak sempurna dan ada yang lebih
sempurna dibanding dirinya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebenaran akal
bersifat universal.
Saya
suka mengutip kata – kata dari filsuf eropa barat jaman barok Rene Descartes,
mungkin anda pernah mendengar kata – kata ini “aku berpikir maka aku ada!”. Yah
itulah konsep kesadaran yang diajukan oleh Descartes. Konsep itu jugalah yang
membedakan antara manusia dan makhluk lainnya. Manusia memiliki akal yang mampu
membedakan benar dan salah secara universal, saya menyebut akal ini sebagai
partikel Tuhan. istilah partikel Tuhan sendiri jangan disalah artikan bahwa
saya menganggap Tuhan terdiri dari bagian – bagian partikel kecil dan
memberikan bagian terkecil dari diriNya (akal) kepada kita. Istilah partikel
Tuhan ini lebih kepada pemberian sifat dari Tuhan yang Maha Akal ke manusia.
Sudah barang tentu jika manusia hanya diberi partikel akal, tentu kita hanya
mendapatkan sangat kecil sekali dari sifat Tuhan ini. Itulah yang menyebabkan
manusia meskipun dapat membedakan benar
dan salah, tetapi di lain waktu juga bisa sebaliknya. Ini dikarenakan manusia
hanya mendapat sangat kecil sekali anugrah akal dari Tuhan.
Lalu
bagaimana untuk makhluk selain manusia? Bukankah mereka juga ciptaan Tuhan?
Bukankah hanya manusia yang memiliki akal, oleh karena itu manusia bisa
berkehendak? Saya menganggap bahwa batu juga memiliki kesadaran. Begitu juga
hewan dan tumbuhan. Batu memiliki kesadaran hanya sebatas bahwa dia adalah
suatu objek. Sedangkan tanaman memiliki kesadaran sebagai objek, sekaligus
tumbuh. Manusia menempati kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran akal. dengan
memiliki akal berarti kita bisa berkehendak. Kita bisa menghendaki mendapatkan
makanan dengan berbagai cara karena kita memiliki logika. Kita bisa mencari
makanan dengan cara mencuri atau juga membeli karena kita memiliki logika.
Dengan logika atau akal berarti sebagai manusia kita bisa berkehendak.
Berbeda
dengan batu misalnya, batu tidak memiliki akal, maka dia tidak berkehendak.
Hewan dalam hidupnya juga tidak memiliki kehendak, bukankah sudah hukum alam
kalau seekor singa memakan domba? Bisakah singa memakan rumput? Karena singa
tidak memiliki akal atau kehendak, maka singa hanyalah menjalani kehidupan
berdasarkan hukum alam bahwa dia harus makan domba. Jika manusia memiliki
kehendak maka bukankah dia bisa menentukan masa depannya sendiri? diparagraf
sebelumnya saya mengatakan bahwa kita hanya mendapatkan partikel Tuhan yang
sangat kecil yaitu akal. hal ini menyebabkan kita juga hanya bisa berkehendak
bebas dalam taraf kecil. Contohnya manusia bisa berkehendak untuk makan nasi
goreng hari ini, namun apakah dia bisa berkehendak bahwa dia tidak akan mati?
Kehendak akan kematian ini sepenuhnya tidak bisa dikendalikan oleh manusia,
dikarenakan Tuhan sebenarnya mempunyai kehendak mutlak atas kita. Itulah yang
sering kita sebut sebagai takdir. Maka tak ada kehendak bebas dari manusia,
manusia hanya memiliki kehendak terbatas yang sangat kecil yang disebut dengan
usaha.
Masalah
terakhir yang saya ingin bahas dalam tulisan saya kali ini adalah atheisme.
Jika dalam paragraf – paragraf sebelumnya kita telah banyak membahas mengenai
oposisi biner maka dalam kaitannya dengan atheisme ini akan benar – benar
terbongkar. Atheisme sebagai suatu aliran paham ketidakpercayaan akan Tuhan
sebenarnya menyadari akan adanya Tuhan namun mereka ini mengingkarinya. Ingat
jika mereka berpikir tidak ada Tuhan, maka oposisi binernya adalah ada Tuhan.
Kita telah belajar dari Rene Descartes mengenai apa yang disebut kesadaran.
Kesadaran akan Tuhan juga merupakan sebuah tahap dari proses berpikir rasional.
Jika ada orang atheis berarti mereka baru sampai pada tahap kesadaran “tidak
ada Tuhan”, mereka belum mencapai kesadaran “tidak ada Tuhan, selain yang Maha
Kuasa”.
Ada
juga yang telah mencapai kesadaran akan Tuhan, namun mencoba mengingkarinya
dengan berbagai rasionalisasi serta pembuktian filosofis bahwa Tuhan itu tidak
ada. Contohnya adalah cara pandang empirisme dalam memandang Tuhan. empirisme
beranggapan bahwa yang namanya realitas adalah yang dapat dilihat dengan
pancaindra. Tentu saja Tuhan tidak mampu disensor dengan alat indra. Coba
bayangkan saja jika Tuhan itu bisa dilihat, patung misalnya. Jika Tuhan adalah
patung, betapa tidak sempurnanya patung ini, mungkin kita tendang sudah roboh,
bukankah Tuhan itu sempurna? Kok ditendang roboh? Atau kamu bisa lihat seberapa
besar patung itu, jika kamu bisa melihat ruang hampa disekitar patung maka
patung sebenarnya lebih kecil daripada ruang hampa itu. jika Tuhan adalah
sempurna maka tidak akan ada yang dapat menyainginya dalam hal apapun. Jika
Tuhan dapat dilihat dengan mata, maka Tuhan sebenarnya tidak besar karena
jangkauan mata kita bisa melihatnya. Kamu tidak bisa melihat Tuhan karena Tuhan
ada bersama keseluruhan alam semesta. Tuhan ada dimana – mana. Dan memang
begitulah harusnya sifat dari yang Maha Sempurna.
0 comments