I don't want a lot of things. I just want to invite you to think together!

Pages

Friday 16 May 2014

Memahami Tuhan 3



Dalam artikel yang ketiga ini saya akan lebih membahas tentang kemutakhiran akal untuk menciptakan kebenaran universal. bagaimana dalam tulisan ini saya mengambil contoh kasus dalam bahasa, kebudayaan, dan kognisi untuk menjelaskan oposisi biner dalam kerangka pembuktian adanya Tuhan. Dalam tulisan ini saya juga akan membahas atheisme sebagai wujud tersirat dari pemahaman mengenai Tuhan.

Pertama – tama dalam kajian ini saya akan menceritakan tentang bahasa. Ada dua orang ahli bahasa sekaligus antropolog  yang pernah meneliti kajian antara kebudayaan dan bahasa. Kedua peneliti tersebut adalah Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, keduanya meneliti tentang kajian bahasa dan mengeluarkan sebuah hipotesis, hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir - Whorf. Hipotesis Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita. Untuk lebih pahamnya saya akan mencoba menjelaskan hipotesis ini dengan contoh kasus di dunia nyata. Saya mengambil contoh kebudayaan jawa dan kebudayaan barat. Dalam masyarakat jawa dikenal penggolongan bahasa menjadi krama dan ngoko. Bahasa krama ini merupakan bahasa yang halus, bahasa krama biasanya dipakai oleh kaum bangsawan, untuk menghormati orang yang lebih tua dan untuk berbicara pada orang yang belum dikenal maupun baru dikenal. Disini tergambar bahwa dari adanya penggolongan bahasa yang hierarkis antara krama dan ngoko mencerminkan masyarakat jawa pada dunia nyata juga mengenal hierarki – hierarki, dimana bangsawan dianggap tinggi menggunakan bahasa krama dan dari sisi sebaliknya ada rakyat jelata yang dianggap rendah menggunakan bahasa ngoko dalam kehidupan sehari – hari.

Sedangkan pada masyarakat barat, tidak mengenal hierarki krama dan ngoko dalam bahasanya. Orang barat memiliki bahasa yang egaliter atau setara. Bahkan jika di jawa penyebutan mas dan mbak adalah penyebutan untuk menyebutkan orang yang lebih tua, maka di barat sebaliknya. Di barat terkenal ungkapan brother dan sister, bagaimana disini hubungan antara saudara tidak dilihat secara hierarki, namun sejajar. Atau misalnya kita juga sering melihat orang barat memanggil orang tua dengan nama mereka. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya bahasa adalah cerminan dari dunia kebudayaaan. Bahasa orang jawa yang hierarkis, mncerminkan dunia orang jawa yang hierarkis. Sedangkan bahasa barat yang egaliter, mencerminkan dunia barat dalam kehidupan kesehariannya memang menekankan prinsip kesetaraan. Disini kita mulai melihat tentang adanya hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Dari sinilah kita mengambil bahasa sebagai unit analisis untuk menemukan kebenaran Tuhan nantinya. 

Dalam setiap bahasa selalu dikenal sebuah oposisi biner. Pemikiran mengenai oposisi biner ini disampaikan oleh Ferdinand de Saussure. Pada dasarnya oposisi biner adalah kemampuan akal manusia untuk berfikir secara oposisi terhadap suatu objek. Contohnya adalah gelap dan terang, hidup dan mati, baik dan jahat, hitam dan putih. Percaya atau tidak percaya, cara berfikir ini ada di setiap kebudayaan di dunia. Hal ini mencerminkan bahwa oposisi biner merupakan sesuatu yang universal, yang dibelahan bumi manapun ada, bahkan pada kebudayaan paling primitif sekalipun. Apakah benar demikian? Saya ambil contoh, misalnya di dunia modern kita mengenal adanya siang dan malam, terang dan gelap. Tetapi ternyata di suku dani yang terpencil di papua pun mengenal istilah siang dan malam, terang dan gelap ini. Bagaimanakah menjelaskan fenomena ini?

Saya berkesimpulan bahwa alam ini sengaja diciptakan oleh Sang Pencipta dengan bentuk – bentuk oposisi biner supaya manusia sadar akan keberadaan Tuhan. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan seperti itu? pernahkah kita sadar kenapa di dunia itu ada siang dan ada malam? Ada matahari yang menerangi kita, dan ada juga malam yang gelap. Ada kelahiran ada juga kematian. Jika Ferdinand de Saussure mengatakan bahwa oposisi biner adalah bawaan akal manusia, saya disini malah berfikir bahwa alamlah yang membuat kita berfikir sedemikian rupa, alam dibuat oleh Sang Pencipta dengan oposisi – oposisinya. Alam sebagaimana adanya membuat oposisi – oposisi seperti siang dan malam, terang dan gelap. 

Berdasarkan pola berfikir oposisi biner ini, manusia mulai menyadari hal – hal yang mendasar mengenai dirinya. Dia sadar bahwa dirinya bukanlah yang sempurna, begitu juga manusia – manusia lain, semua diciptakan dengan keunikan, bakat dan kekurangan masing – masing. Ada manusia yang dilahirkan dengan kecerdasan tinggi tetapi malas, ada seseorang yang dilahirkan dengan fisik yang prima namun miskin. Dari sini dia mulai menyadari bahwa dirinya tidaklah sempurna. Dengan kerangka berpikir oposisi biner tadi, jika ada yang tidak sempurna pastilah ada yang sempurna. Sampai disini pasti anda tahu yang saya maksudkan.

Manusia mulai menyadari bahwa dirinya tidaklah sempurna dan pasti ada Dzat yang sempurna di luar dirinya. Manusia mulai dihinggapi rasa takut karena setiap ada kehidupan pasti ada kematian. Dari perenungan bahwa manusia tidak sempurna dan ada Dzat yang sempurna, maka manusia mulai perlu untuk minta pertolongan pada Dzat yang maha sempurna ini. Dari situlah lahir yang namanya agama. Kemampuan bawaan akal manusia yang mampu mengidentifikasi benar dan salah tanpa sengaja telah membentuk kerangka berfikir oposisi biner yang mendekatkan manusia dengan Tuhannya. Mungkin pembaca menganggap ini hanyalah asumsi saya belaka, namun saya memiliki bukti dari realita empiris yang tak terbantahkan bahwa di setiap kebudayaan pasti mengenal yang namanya agama, atau dalam bentuk paling primitif pun seperti kepercayaan – kepercayaan sederhana. Kepercayaan sederhana yang kita kenal dengan istilah totemisme, animisme dan naturisme pun juga mempercayai hal – hal yang berbau metafisika (diluar hal fisik). Ini dikarenakan manusia menyadari bahwa dirinya tidak sempurna dan ada yang lebih sempurna dibanding dirinya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebenaran akal bersifat universal.

Saya suka mengutip kata – kata dari filsuf eropa barat jaman barok Rene Descartes, mungkin anda pernah mendengar kata – kata ini “aku berpikir maka aku ada!”. Yah itulah konsep kesadaran yang diajukan oleh Descartes. Konsep itu jugalah yang membedakan antara manusia dan makhluk lainnya. Manusia memiliki akal yang mampu membedakan benar dan salah secara universal, saya menyebut akal ini sebagai partikel Tuhan. istilah partikel Tuhan sendiri jangan disalah artikan bahwa saya menganggap Tuhan terdiri dari bagian – bagian partikel kecil dan memberikan bagian terkecil dari diriNya (akal) kepada kita. Istilah partikel Tuhan ini lebih kepada pemberian sifat dari Tuhan yang Maha Akal ke manusia. Sudah barang tentu jika manusia hanya diberi partikel akal, tentu kita hanya mendapatkan sangat kecil sekali dari sifat Tuhan ini. Itulah yang menyebabkan manusia  meskipun dapat membedakan benar dan salah, tetapi di lain waktu juga bisa sebaliknya. Ini dikarenakan manusia hanya mendapat sangat kecil sekali anugrah akal dari Tuhan. 

Lalu bagaimana untuk makhluk selain manusia? Bukankah mereka juga ciptaan Tuhan? Bukankah hanya manusia yang memiliki akal, oleh karena itu manusia bisa berkehendak? Saya menganggap bahwa batu juga memiliki kesadaran. Begitu juga hewan dan tumbuhan. Batu memiliki kesadaran hanya sebatas bahwa dia adalah suatu objek. Sedangkan tanaman memiliki kesadaran sebagai objek, sekaligus tumbuh. Manusia menempati kesadaran yang lebih tinggi yaitu kesadaran akal. dengan memiliki akal berarti kita bisa berkehendak. Kita bisa menghendaki mendapatkan makanan dengan berbagai cara karena kita memiliki logika. Kita bisa mencari makanan dengan cara mencuri atau juga membeli karena kita memiliki logika. Dengan logika atau akal berarti sebagai manusia kita bisa berkehendak. 

Berbeda dengan batu misalnya, batu tidak memiliki akal, maka dia tidak berkehendak. Hewan dalam hidupnya juga tidak memiliki kehendak, bukankah sudah hukum alam kalau seekor singa memakan domba? Bisakah singa memakan rumput? Karena singa tidak memiliki akal atau kehendak, maka singa hanyalah menjalani kehidupan berdasarkan hukum alam bahwa dia harus makan domba. Jika manusia memiliki kehendak maka bukankah dia bisa menentukan masa depannya sendiri? diparagraf sebelumnya saya mengatakan bahwa kita hanya mendapatkan partikel Tuhan yang sangat kecil yaitu akal. hal ini menyebabkan kita juga hanya bisa berkehendak bebas dalam taraf kecil. Contohnya manusia bisa berkehendak untuk makan nasi goreng hari ini, namun apakah dia bisa berkehendak bahwa dia tidak akan mati? Kehendak akan kematian ini sepenuhnya tidak bisa dikendalikan oleh manusia, dikarenakan Tuhan sebenarnya mempunyai kehendak mutlak atas kita. Itulah yang sering kita sebut sebagai takdir. Maka tak ada kehendak bebas dari manusia, manusia hanya memiliki kehendak terbatas yang sangat kecil yang disebut dengan usaha.

Masalah terakhir yang saya ingin bahas dalam tulisan saya kali ini adalah atheisme. Jika dalam paragraf – paragraf sebelumnya kita telah banyak membahas mengenai oposisi biner maka dalam kaitannya dengan atheisme ini akan benar – benar terbongkar. Atheisme sebagai suatu aliran paham ketidakpercayaan akan Tuhan sebenarnya menyadari akan adanya Tuhan namun mereka ini mengingkarinya. Ingat jika mereka berpikir tidak ada Tuhan, maka oposisi binernya adalah ada Tuhan. Kita telah belajar dari Rene Descartes mengenai apa yang disebut kesadaran. Kesadaran akan Tuhan juga merupakan sebuah tahap dari proses berpikir rasional. Jika ada orang atheis berarti mereka baru sampai pada tahap kesadaran “tidak ada Tuhan”, mereka belum mencapai kesadaran “tidak ada Tuhan, selain yang Maha Kuasa”.  

Ada juga yang telah mencapai kesadaran akan Tuhan, namun mencoba mengingkarinya dengan berbagai rasionalisasi serta pembuktian filosofis bahwa Tuhan itu tidak ada. Contohnya adalah cara pandang empirisme dalam memandang Tuhan. empirisme beranggapan bahwa yang namanya realitas adalah yang dapat dilihat dengan pancaindra. Tentu saja Tuhan tidak mampu disensor dengan alat indra. Coba bayangkan saja jika Tuhan itu bisa dilihat, patung misalnya. Jika Tuhan adalah patung, betapa tidak sempurnanya patung ini, mungkin kita tendang sudah roboh, bukankah Tuhan itu sempurna? Kok ditendang roboh? Atau kamu bisa lihat seberapa besar patung itu, jika kamu bisa melihat ruang hampa disekitar patung maka patung sebenarnya lebih kecil daripada ruang hampa itu. jika Tuhan adalah sempurna maka tidak akan ada yang dapat menyainginya dalam hal apapun. Jika Tuhan dapat dilihat dengan mata, maka Tuhan sebenarnya tidak besar karena jangkauan mata kita bisa melihatnya. Kamu tidak bisa melihat Tuhan karena Tuhan ada bersama keseluruhan alam semesta. Tuhan ada dimana – mana. Dan memang begitulah harusnya sifat dari yang Maha Sempurna.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Angkringan Intelektual
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top