Teman – teman, ketika kita
berbicara mengenai Tuhan atau agama kita selalu dipenuhi oleh suatu dilema. ada
banyak wacana bagaimana cara memahami Tuhan. wacana yang paling populer adalah pembedaan
cara pandang ilmu pengetahuan dan agama. Banyak filsuf yang bilang bahwa agama
itu dimulai dari kepercayaan/iman, sedangkan ilmu pengetahuan dimulai dari
keraguan. Memang pernyataan tersebut ada benarnya, jika tidak ada kepercayaan/iman
apakah manusia akan patuh pada Tuhannya? Atau jika ilmu pengetahuan tidak
berangkat dari keraguan/rasa ingin tahu, apakah ilmu pengetahuan dapat
berkembang? Saya rasa pernyataan filsuf tersebut ada benarnya.
Namun ternyata ada permasalahan
yang pelik degan cara berfikir diatas. Agama dimulai dari kepercayaan? Benarkah?
Saya rasa itu tidak sepeuhnya benar. Masih ingatkah kita pada zaman pertengahan
Eropa yang dikenal dengan “The Dark
Middle Age”? itulah zaman dimana dogma gereja katholik roma sangat
berkuasa, suara pendeta dianggap suara Tuhan, bahkan pada zaman tersebut dijual
surat pengampuan dosa untuk mereka yang berani berperang demi kejayaan gereja
kuno. Para ilmuan banyak yang mati disia – siakan oleh dogma agama. Contohnya seperti
Galileo dan kawan – kawanya yang mati karena kekejaman dogma sebuah agama.
Saya rasa begitulah jika agama
dimulai dari keyakinan. Akan banyak ekstrimis – ekstrimis yang malah
mengacaukan tata kehidupan yang sudah mapan. Kebanyakan atau sebagaian besar
dari kita menerima agama sebagai sesuatu yang “taken for granted” atau warisan dari orang tua, yang sebenarnya
kita sendiri tidak tahu kenapa kita harus meyakini itu. dan anehnya semua orang
yang lahir berdasarkan agama masing – masing menganggap agamanya adalah yang
paling benar. Satu pertanyaan yang harus mereka ketahui. Apakah mereka telah
mempelajari semua agama lainnya? Kok bisa – bisanya mengatakan agamaku yang
paling benar? Inilah sebenarnya yang sangat lucu, yang bahkan saya yakin banyak
pemuka agama yang tidak bisa menjawab pertanyaan semacam ini. Hal ini
dikarenakan mereka memahami Tuhan dimulai dari kepercayaan, bukan dari rasa
ingin tahu/keraguan. Jika mereka ragu, mereka akan mencoba mencari kebenaran,
bahkan membaca kitab suci semua agama untuk menemukan kebenaran tersebut.
Lalu muncul pertanyaan juga yang
sangat populer, bukankah jika memulai agama dari rasa ingin tahu/keraguan itu
malah menciptakan orang – orang atheis yang tidak percaya Tuhan? bukan kah
banyak ilmuan yang jadi atheis gara – gara mereka memulai memahami Tuhan dari
keraguan? Jawaban itu juga tidak sepenuhnya salah. Tetapi menurut saya ilmuan
yang tidak percaya Tuhan adalah ilmuan yang sesat pikir dan tidak menggunakan
logikanya secara jernih. Mereka mengatasnamakan aliran mereka yang tidak
percaya dengan Tuhan dengan menyebutnya aliran materialisme. Materialisme menganggap semua yang nyata adalah yang
memiliki materi/keberadaan. Kursi itu ada karena kursi bisa disentuh, bisa
diraba, bisa dilihat. Tuhan itu tidak ada, karena keberadaanya tidak bisa
ditangkap panca indra. Benarkah pernyataan tersebut? Lalu bagaimana ilmuan
materialisme menjelaskan tentang proses kelahiran manusia yang dari tidak ada
menjadi ada? Dari perut seorang ibu dan tiba – tiba muncul seorang manusia. Dan
bagaimana pula ilmuan materialisme menjelaskan dari yang ada ke tiada? Contohnya
orang yang hidup suatu saat akan mati, merupakan proses menuju tiada. Lalu apakah
manusia tersebut tidak nyata? Dari sini kita bisa melihat salah kaprahnya
logika dari para ilmuan ini. Saya melihat doktrin materialisme hanyalah upaya
para ilmuan yang sudah jenuh dan putus asa karena tidak bisa menjawab
pertanyaan – pertanyaan mengenai keberadaan Tuhan. saya heran kenapa orang –
orang sejenius Sigmund Freud dan Nietzsche bisa tidak percaya akan adanya
Tuhan. saya rasa mereka salah memahami Tuhan
Saya bukan seorang atheis teman –
teman. Saya sangat percaya Tuhan. Saya percaya Tuhan karena sangat banyak bukti yang
tak terjelaskan menggambarkan betapa lemahnya kita teman – teman. Cobalah tengok
semua definisi ilmu pengetahuan semuanya pasti berakhir dengan
postulat(kebenaran yang tak bisa dipertanyakan). Bisakah seorang dokter memberi
penjelasan kenapa sebuah zat sperma dan ovum bisa menjadi sebuah janin? Mereka hanya
bisa menjelaskan prosesnya. Ada juga pertanyaan misalnya, kenapa gravitasi
menarik materi? Seorang ahli fisika hanya bisa mempostulatkan hal tersebut
tanpa tahu sebenarnya mengapa gravitasi itu menarik materi. Itu membuktikan
betapa terbatasnya nalar manusia dibanding alam semesta ini. Tentu ada zat yang
menciptakan dari keadaan tiada/kehampaan
ke keadaan ada saat ini.
Keyakinan saya akan Tuhan
diperkuat juga oleh keterangan di kitab suci. Seperti biasa saya selalu mencoba
memahami Tuhan secara kritis. Misalnya ada ungkapan di kitab suci “Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Penyayang dan
sebagainya”. Menurut saya ini adalah bukti luar biasa dari Tuhan bahwa
Tuhan itu ada. Misalnya ungkapan “Tuhan
Maha Besar” . dalam bayangan kalian Tuhan itu sebesar apa? Jika Tuhan itu
sebesar bulan maka Tuhan bukanlah zat yang Maha karena matahari lebih besar
daripada bulan. Jika ada ungkapan Tuhan itu sebesar matahari maka Tuhan juga
bukanlah zat yang Maha dikarenakan galaksi bima sakti jauh lebih besar daripada
matahari. Keberadaan Tuhan yang memang tidak tampak oleh mata, memang sengaja
begitu adanya karena jika mata kalian bisa melihat Tuhan, itu berarti ruang
hampa disekitar penglihatan kalian lebih besar dari Tuhan. maka dari itulah ada
ungkapan yang Maha atau yang tak tertandingi muncul. Dari situ pulalah ada
ungkapan Tuhan ada dimana – mana.
Sangat banyak contoh dari kitab
suci yang sebenarnya secara nalar dapat diterima, akan tetapi banyak juga orang
yang terburu – buru dan malas berpikir sehingga memilih mempercayai saja tanpa
kritis terhadap agama, atau malah memilih atheis sebagai jalan yang netral. Saya
mulai berpikir, agaknya memahami Tuhan bukan berarti percaya tanpa pencarian
akan Tuhan dan kebenaran sejati, tetapi memahami Tuhan harus dilandasi dengan
akal yang sehat dan kritis. Banyak pemikir jenius yang mempercayai Tuhan. Issac
Newton ilmuan termahsyur sepanjang masa juga merupakan seorang kreasionis yang
percaya bahwa kehidupan diciptakan oleh Tuhan. ada juga pemikir yang atheis
semasa hidupnya seperti Voltaire yang tidak mengakui Tuhan, saat matipun
ternyata dia tidak kuasa untuk menyebut nama Tuhan dan meminta pertolonganNya. Logikanya
benar – benar tak mampu mengingkari adanya Tuhan. logikanya tak mampu menjelaskan
proses kematian.
Mari kita memahami Tuhan lebih
bijak.
Depok, 13 Februari 2013
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
0 comments