I don't want a lot of things. I just want to invite you to think together!

Pages

Saturday 22 March 2014

Salah Didikan Belajar



Setelah lebih dari satu tahunsaya kuliah, akhir – akhir ini saya baru menyadari esensi dari ilmu pengetahuan. Saya merasa benar – benar bodoh dan banyak dibodohi selama saya menuntut ilmu dulu. Pelajaran yang diajarkan serasa begitu membosankan. Tentu kalian sangat bosan untuk menghafal tahun – tahun sejarah, ataupun teori - teori sosiologi. Atau yang lebih buruk lagi betapa membosankanya matematika dan fisika yang menghitung dengan rumus – rumus yang rumit yang kita sendiri tidak tahu manfaatnya. Tentu sebelum membahas tentang hal tersebut yaitu ada baiknya kita tahu tentang dasar – dasar ilmu pengetahuan. Ada tiga aspek dasar dari ilmu pengetahuan yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi.

Ontologi adalah hakikat apa yang dikaji, jadi misalkan bidang sosiologi. Apa yang dikaji dari sosiologi? Tentulah ilmu tentang masyarakat, mencoba mengkaji interaksi antar individu. Ontologi juga menjelaskan secara jelas batas – batas bidang ilmu satu dengan yang lain. Misalnya apa batas – batas dari sosiologi dan antropologi? Bukankah keduanya mengkaji tentang masyarakat, lalu apa bedanya? Yaitu kalau sosiologi mengkaji pada hal yang berkaitan dengan interaksi antar individu. Kalu antropologi lebih mengkaji masyarakat dalam tataran ideasional/kebudayaan. Yang kedua adalah epistimologi atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar/metode – metode keilmuan. Contohnya dalam sosiologi ya cara mendapatkan pengetahuan yang benar kita menggunakan pendekatan yang kantitatif yang syarat dengan angka – angka dan statistik. Hal ini akan sangat berbeda dengan ilmu sejarah yang metode – metodenya sangat kualitatif, seperti wawancara mendalam dengan pelaku sejarah, interpretasi teks dan lain – lain. Yang ketiga dan yang paling penting adalah aksiologi atau kebermanfaatan ilmu. Misalkan ilmu statistik manfaatnya untuk apa? Tentulah untuk memberikan analisis data berdasarkan prinsip probabilitas/peluang bukan?

Nah untuk lebih gampangnya kita langsung ke contoh kasus saja. Banyak siswa sekarang yang berprestasi tetapi sebenarnya tidak paham apa yang dikerjakannya. Siswa sekarang Cuma dididik jadi tukang hitung dan tukang hafal. Kenapa saya bisa pada kesimpulan seperti itu? sebagai contoh coba tanya pada temanmu yang bisa mengerjakan teori relativitas fisika dengan lancar. Coba tanyakan apakah unsur elementer cahaya itu partikel atau gelombang? Atau tanyakan tentang konsep mengenai dimensi 3 dan 4 mengenai dan ruang dan waktu dan hubungannya dengan gravitasi sebagai kritik mekanika klasik Newton. Atau berilah pertanyaan kenapa kilat dan gemuruhnya tidak pernah dalam waktu yang sama sampai ke kerak bumi? Atau juga tanyakan saja kita menghitung geometri yang  rumit ini sebenarnya buat apa sih (aksiologi), bukankah nggak ada gunanya buat jualan? Saya yakin kebanyakan tidak bisa menjelaskan banyak hal tersebut,karena kebanyakan hanya jadi ahli hitung.

Banyak anak suka menghitung karena menghitung dianggap sebagai permainan mengasyikan yang nggak bikin ngantuk. Mungkin orang – orang yang pintar menghitung tadi tidak tahu kalau cepat rambat cahaya lebih cepat daripada bunyi pada gejala kilat guntur tadi. Atau mungkin mereka tidak sadar bahwa manfaat geometri yang rumit itu sebenarnya akan sangat bermanfaat kalau mau menggambarkan unsur – unsur paling elementer dari alam yang memakai matematika paling rumit, Einstein saja pada akhir hidupnya menyesal karena kurang memahami ini. Atau banyak juga yang tidak tahu bahwa gravitasi sebenarnya adalah lengkungan ruang dan waktu kalau kata Einstein. Jadi ibarat ada bola bowling di trampolin lalu ada bola tenis disekitarnya. Pasti bola tenis ini akan menuju sisi trampolin yang cekung cmembentuk ceruk karena berat bole bowling ini. Dengan kasat mata kita melihat bola bowling ini menarik bola tenis. Nah dalam kasus ini lengkungannya bersifat dua dimensi. Kalau dalam gravitasi lengkungan ini 4 dimensi, mencakup dimensi ruang dan waktu. Nah dimensi ruang dan waktu itulah yang menyebabkan masa yang berat menarik masa yang ringan. Dimensi ruang dan waktu itulah yang disebut cekungan tadi dalam trampolin. Tentu saja pikiran kita susah membayangkan hal itu terjadi pada suatu yang 4 dimensi. Itulah yang membedakan kita dengan Einstein, hal – hal seperti ini memang susah dipahami oleh orang yang bukan jenius sepertinya. Poin pentingnya disini adalah pengetahuan yang hitung – hitunganpun harus dipahami. Kalau tidak dipahami kita akan kehilangan dari segi kebermanfaatnya (aksiologi)? Lucu dong kalau kita bisa menghitung tapi nggak paham manfaatnya apa. Kalau kita dicetak cuman jadi ‘ahli hitung’, komputer jauh lebih pinter dari kita, komputer dapat menghitung dengan ‘margin eror’ yang sagat kecil, maka dari itu ‘ahli hitung’ nggak akan  berguna kalau nggak mau memahami ilmunya. Jangan berbangga jadi ‘ahli hitung’ kalau belum paham.

Ataukah banyak juga yang menjadi ‘ahli hafalan’. Kadang ketika dikelas kita membedakan teman kita ada yang ‘ahli hitung’ dan ada yang ‘ahli hafal’. Padahal keduanya sama – sama dibodohi sistem pengajaran. Ambillah ada anak ahli dalam menghafal. Dia hafalkan teori – teori sosiologi dengan nama – nama para ahlinya, juga mengahafakan tahun tahun sejarah secara perfect. Padahal bukan itu esensinya. Kenapa kamu disuruh menghafal tahun tersebut? Sebenarnya kamu nggak diminta menghafal tapi kamu harus tahu agar tidak salah dalam menerapkan berlakunya teori tertentu. Agar kalian tahu jaman berlakunya dan perkembangan teori tersebut dalam rentang waktu tertentu. Misalkan teori bahwa bumi pusat tata surya oleh Ptolomeus hal ini dikemukakan pada abad 2 masehi, sedangkan pemikiran Copernicus dan Galileo baru populer di sekitar abad 16. Tentu kita nggak bisa kan kembali pada perkembangan teori yang terdahulu, maka dari itu kita harus mengerti tahun – tahun dalam rangka dipahami konstruksi pemikirannya agar tidak sesat dalam mengambil kesimpulan. Nggak mungkinlah pada jaman setelah galileo yang sudah ada teleskop orang menyangkal kebenaran bahwa matahari pusat tata surya, kecuali dogma gereja yang saat itu masih menentang ‘sciences’.maka dari itu penting mengikuti perkembangan pemikiran dari tahun – ke tahun. Tahunya di hafal supaya kita paham perkembangan pemikirannya. Kebanyakan guru menyuruh siswanya untuk ‘menghafalkan tanpa memahami’ padahal ini salah besar.

Mungkin tulisan saya ini tidak sepenuhnya benar, apalagi pada uraian yang berbau matematika atau fisika yang saya jelaskan diatas, itu karena saya bukan ahli pada bidang tersebut dan tidak banyak mempelajari hal yang berkaitan dengan itu. mungkin juga sok tahu, tetapi setidaknya saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya tahu. Pada intinya kritik yang saya sampaikan disini adalah kalau mau mengerti ilmu jangan pernah ‘dihitung’ dan ‘dihafal’, tetapi mulailah ‘dipahami’ sedalam mungkin. Kita punya alat ontologis, epistimologis dan aksiologis untuk menganalisis ilmu pengetahuan, oleh karena itu jangan terlalu percaya dengan kurikulum. Kita bukan dituntut untuk bisa mengerjakan soal, tetapi ‘memahami’ persoalan kehidupan dengan ilmu pengetahuan. Ini tentunya tidak akan bisa jika kita kurang memahami apa yang kita pelajari. Ayo belajar dan ‘memahami’!
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Angkringan Intelektual
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top