Setelah lebih
dari satu tahunsaya kuliah, akhir – akhir ini saya baru menyadari esensi dari
ilmu pengetahuan. Saya merasa benar – benar bodoh dan banyak dibodohi selama
saya menuntut ilmu dulu. Pelajaran yang diajarkan serasa begitu membosankan.
Tentu kalian sangat bosan untuk menghafal tahun – tahun sejarah, ataupun teori -
teori sosiologi. Atau yang lebih buruk lagi betapa membosankanya matematika dan
fisika yang menghitung dengan rumus – rumus yang rumit yang kita sendiri tidak
tahu manfaatnya. Tentu sebelum membahas tentang hal tersebut yaitu ada baiknya
kita tahu tentang dasar – dasar ilmu pengetahuan. Ada tiga aspek dasar dari
ilmu pengetahuan yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi.
Ontologi
adalah hakikat apa yang dikaji, jadi misalkan bidang sosiologi. Apa yang dikaji
dari sosiologi? Tentulah ilmu tentang masyarakat, mencoba mengkaji interaksi
antar individu. Ontologi juga menjelaskan secara jelas batas – batas bidang
ilmu satu dengan yang lain. Misalnya apa batas – batas dari sosiologi dan antropologi?
Bukankah keduanya mengkaji tentang masyarakat, lalu apa bedanya? Yaitu kalau
sosiologi mengkaji pada hal yang berkaitan dengan interaksi antar individu.
Kalu antropologi lebih mengkaji masyarakat dalam tataran ideasional/kebudayaan.
Yang kedua adalah epistimologi atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang
benar/metode – metode keilmuan. Contohnya dalam sosiologi ya cara mendapatkan
pengetahuan yang benar kita menggunakan pendekatan yang kantitatif yang syarat
dengan angka – angka dan statistik. Hal ini akan sangat berbeda dengan ilmu
sejarah yang metode – metodenya sangat kualitatif, seperti wawancara mendalam
dengan pelaku sejarah, interpretasi teks dan lain – lain. Yang ketiga dan yang
paling penting adalah aksiologi atau kebermanfaatan ilmu. Misalkan ilmu
statistik manfaatnya untuk apa? Tentulah untuk memberikan analisis data
berdasarkan prinsip probabilitas/peluang bukan?
Nah untuk
lebih gampangnya kita langsung ke contoh kasus saja. Banyak siswa sekarang yang
berprestasi tetapi sebenarnya tidak paham apa yang dikerjakannya. Siswa
sekarang Cuma dididik jadi tukang hitung dan tukang hafal. Kenapa saya bisa
pada kesimpulan seperti itu? sebagai contoh coba tanya pada temanmu yang bisa
mengerjakan teori relativitas fisika dengan lancar. Coba tanyakan apakah unsur
elementer cahaya itu partikel atau gelombang? Atau tanyakan tentang konsep
mengenai dimensi 3 dan 4 mengenai dan ruang dan waktu dan hubungannya dengan
gravitasi sebagai kritik mekanika klasik Newton. Atau berilah pertanyaan kenapa
kilat dan gemuruhnya tidak pernah dalam waktu yang sama sampai ke kerak bumi?
Atau juga tanyakan saja kita menghitung geometri yang rumit ini sebenarnya buat apa sih (aksiologi),
bukankah nggak ada gunanya buat jualan? Saya yakin kebanyakan tidak bisa
menjelaskan banyak hal tersebut,karena kebanyakan hanya jadi ahli hitung.
Banyak anak
suka menghitung karena menghitung dianggap sebagai permainan mengasyikan yang
nggak bikin ngantuk. Mungkin orang – orang yang pintar menghitung tadi tidak
tahu kalau cepat rambat cahaya lebih cepat daripada bunyi pada gejala kilat
guntur tadi. Atau mungkin mereka tidak sadar bahwa manfaat geometri yang rumit
itu sebenarnya akan sangat bermanfaat kalau mau menggambarkan unsur – unsur
paling elementer dari alam yang memakai matematika paling rumit, Einstein saja
pada akhir hidupnya menyesal karena kurang memahami ini. Atau banyak juga yang
tidak tahu bahwa gravitasi sebenarnya adalah lengkungan ruang dan waktu kalau
kata Einstein. Jadi ibarat ada bola bowling di trampolin lalu ada bola tenis
disekitarnya. Pasti bola tenis ini akan menuju sisi trampolin yang cekung
cmembentuk ceruk karena berat bole bowling ini. Dengan kasat mata kita melihat
bola bowling ini menarik bola tenis. Nah dalam kasus ini lengkungannya bersifat
dua dimensi. Kalau dalam gravitasi lengkungan ini 4 dimensi, mencakup dimensi
ruang dan waktu. Nah dimensi ruang dan waktu itulah yang menyebabkan masa yang
berat menarik masa yang ringan. Dimensi ruang dan waktu itulah yang disebut
cekungan tadi dalam trampolin. Tentu saja pikiran kita susah membayangkan hal
itu terjadi pada suatu yang 4 dimensi. Itulah yang membedakan kita dengan
Einstein, hal – hal seperti ini memang susah dipahami oleh orang yang bukan
jenius sepertinya. Poin pentingnya disini adalah pengetahuan yang hitung –
hitunganpun harus dipahami. Kalau tidak dipahami kita akan kehilangan dari segi
kebermanfaatnya (aksiologi)? Lucu dong kalau kita bisa menghitung tapi nggak
paham manfaatnya apa. Kalau kita dicetak cuman jadi ‘ahli hitung’, komputer jauh lebih pinter dari kita, komputer dapat
menghitung dengan ‘margin eror’ yang
sagat kecil, maka dari itu ‘ahli hitung’
nggak akan berguna kalau nggak mau
memahami ilmunya. Jangan berbangga jadi ‘ahli
hitung’ kalau belum paham.
Ataukah banyak
juga yang menjadi ‘ahli hafalan’.
Kadang ketika dikelas kita membedakan teman kita ada yang ‘ahli hitung’ dan ada yang ‘ahli
hafal’. Padahal keduanya sama – sama dibodohi sistem pengajaran. Ambillah
ada anak ahli dalam menghafal. Dia hafalkan teori – teori sosiologi dengan nama
– nama para ahlinya, juga mengahafakan tahun tahun sejarah secara perfect.
Padahal bukan itu esensinya. Kenapa kamu disuruh menghafal tahun tersebut?
Sebenarnya kamu nggak diminta menghafal tapi kamu harus tahu agar tidak salah
dalam menerapkan berlakunya teori tertentu. Agar kalian tahu jaman berlakunya
dan perkembangan teori tersebut dalam rentang waktu tertentu. Misalkan teori bahwa
bumi pusat tata surya oleh Ptolomeus hal ini dikemukakan pada abad 2 masehi,
sedangkan pemikiran Copernicus dan Galileo baru populer di sekitar abad 16.
Tentu kita nggak bisa kan kembali pada perkembangan teori yang terdahulu, maka
dari itu kita harus mengerti tahun – tahun dalam rangka dipahami konstruksi
pemikirannya agar tidak sesat dalam mengambil kesimpulan. Nggak mungkinlah pada
jaman setelah galileo yang sudah ada teleskop orang menyangkal kebenaran bahwa
matahari pusat tata surya, kecuali dogma gereja yang saat itu masih menentang ‘sciences’.maka dari itu penting
mengikuti perkembangan pemikiran dari tahun – ke tahun. Tahunya di hafal supaya
kita paham perkembangan pemikirannya. Kebanyakan guru menyuruh siswanya untuk ‘menghafalkan tanpa memahami’ padahal
ini salah besar.
Mungkin
tulisan saya ini tidak sepenuhnya benar, apalagi pada uraian yang berbau
matematika atau fisika yang saya jelaskan diatas, itu karena saya bukan ahli
pada bidang tersebut dan tidak banyak mempelajari hal yang berkaitan dengan
itu. mungkin juga sok tahu, tetapi setidaknya saya hanya ingin menyampaikan apa
yang saya tahu. Pada intinya kritik yang saya sampaikan disini adalah kalau mau
mengerti ilmu jangan pernah ‘dihitung’
dan ‘dihafal’, tetapi mulailah ‘dipahami’ sedalam mungkin. Kita punya
alat ontologis, epistimologis dan aksiologis untuk menganalisis ilmu
pengetahuan, oleh karena itu jangan terlalu percaya dengan kurikulum. Kita
bukan dituntut untuk bisa mengerjakan soal, tetapi ‘memahami’ persoalan kehidupan dengan ilmu pengetahuan. Ini
tentunya tidak akan bisa jika kita kurang memahami apa yang kita pelajari. Ayo
belajar dan ‘memahami’!
0 comments