Teori seringkali menjadi
momok menakutkan bagi para siswa, pemahaman teoritik umumnya tidak disukai
sebagian besar siswa karena sangat abstrak dan sulit dipahami. Masalah –
masalah ini biasanya disebabkan oleh guru yang kurang memahami teori secara
benar, ataupun kesusahan guru dalam menjelaskan berbagai konsep yang dianggap
sulit dalam pengajaran. Problem ini adalah problem – problem klasik yang ada di
berbagai tempat dalam setiap institusi pendidikan. Masalah ini sebenarnya tetap
langgeng bukan karena tidak bisa diselesaikan, namun pendekatan yang digunakan
dalam memahami teori tersebut salah, sehingga teori – teori ini seringkali
susah dicerna oleh para murid. Dalam tulisan ini saya berasumsi bahwa masalah –
masalah pengajaran teoritik dapat diselesaikan dengan pendekatan kognitif. Pendekatan
kognitif ini digunakan untuk mengetahui karakteristik dari teori sendiri
sehingga lebih mudah untuk dipahami.
Abstrak vs Kongkrit, Intuisi vs Pengindraan
Untuk memahami sebuah
teori, kita perlu membedakan dulu objek – objek kognitif manusia yang berupa
kongkrit dan abstrak. Kedua objek ini memiliki ciri – ciri yang sangat berbeda
dalam diskursusnya (proses – proses mendapatkan pengetahuan) masing – masing. Yang
kongkrit didefinisikan sebagai objek yang menempati ruang, karakteristik dari
yang kongkrit adalah dapat ditangkap panca indra. Kita ambil contoh misalnya
kursi. Kursi adalah sebuah objek yang menempati ruang, kita bisa melihat kursi
dengan mata kita, kita bisa meraba kursi dengan indra peraba kita, dan lain
sebagainya. Intinya adalah kursi objek yang kongkrit yang dapat ditangkap oleh
alat indra. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan objek abstrak. Objek abstrak
didefinisikan sebagai objek imajiner yang diberi makna lewat penggunaan bahasa
sebagai simbol, objek ini bersifat metafisik, atau tidak berwujud dan tidak
dapat ditangkap oleh alat indra. Misalnya adalah agama. Siapa yang bisa melihat
agama? siapa yang bisa meraba agama? pada dasarnya agama adalah abstrak karena
tidak dapat ditangkap dengan alat indra. Angan – angan tentang agama adalah
suatu gagasan imajiner atau ideasional yang dibentuk/didefinisikan melalui
bahasa. Teori termasuk dalam objek kognitif yang abstrak, oleh karena itu lebih
susah untuk dimengerti karena bukan objek yang kongkrit yang bisa ditangkap
oleh alat indra.
Secara psikologis ada dua
tipikal kecenderungan manusia untuk mengamati suatu objek kognitif. Yang pertama
adalah tipikal intuisi yang dilambangkan dengan (N) dan pengindraan yang
dilambangkan dengan (S). Orang dengan intuisi kecenderungan berpikir
imajinatif, dan selalu mencari pola – pola dari apa yang dilihatnya, sedangkan
orang yang menggunakan pengindraan lebih melihat suatu objek kongkrit yang
ditangkap alat indra sebagaimana adanya yang ditangkap alat indranya. Orang –
orang dengan tipikal N seringkali lebih memiliki kecenderungan untuk berpikir
dan mengenali objek – objek abstrak, sedangkan orang – orang dengan tipikal S
lebih suka berpikir dan mengenali objeknya secara kongkrit. Orang – orang dengan
tipe N inilah yang umumnya mudah untuk mengerti teori, karena imajinasi mereka
yang tinggi untuk menggali wujud abstrak tersebut melalaui simbol – simbol bahasa.
Umumnya orang – orang dengan tipikal kognitif S kesulitan dalam memahami teori,
dikarenakan kecenderungan mengenali objek mereka secara kongkrit.
Imajinasi dan Kreativitas
Dalam tulisan ini saya
sangat memebedakan yang namanya imajinasi dan kreatifitas. Pandangan awam
biasanya menganggap kedua fenomena ini sama. Saya berasumsi bahwa yang namanya
kreatifitas adalah cara berpikir divergen/menyebar yang berusaha mencari sisi
berbeda dari suatu objek, sehingga menciptakan sesuatu yang dianggap baru. Sedangkan
imajinasi merupakan proses menyelami pikiran secara mendalam dan mencari bentuk
– bentuk tertentu (bisa berupa konvergen dan divergen) yang bisa diartikan
secara memusat maupun menyebar. Memusat merupakan cara berfikir konsentrasi,
sedangkan menyebar adalah cara berfikir kreatif. Baik memusat maupun menyebar
keduanya memiliki imajinasi yang tinggi. Saya mencontohkan dua tipe tokoh yang
sama – sama berkarakter N namun memiliki kecenderungan yang berbeda dalam cara
berfikir, yang satunya lebih dominan konvergen, satunya lagi lebih dominan
divergen.
Contoh tokoh N yang
memiliki kecenderungan berpikir secara intuitif adalah Karl Marx. Marx memiliki
imajinasi sangat tinggi dalam mengenali objek – objek abstrak, namun ciri khas
imajinasi Marx lebih bersifat memusat yang memperhatikan detail dan dalamnya
pemikirannya, tipe – tipe seperti ini akan sangat dalam bila mengorek suatu
permasalahan. Di tangannya atu masalah dapat dilihat dari berbagai sisi yang
sangat detail dan dalam. Orang seperti ini menghindari kedangkalan dalam suatu
pendeskripsian kasus, tak heran buku Das Kapitalnya sangat tebal dan terdiri
dari beberapa volume untuk mengkritik kapitalisme eropa. Pada kutub yang
berbeda saya mencontohkan Leonaro Davinci. Davinci merupakan tipe tokoh N yang
memiliki kecenderungan untuk berfikir divergen atau menyebar. Ini menjadikan
cara berfikirnya yang imajinatif sangat meluas dan kreatif. Terbukti dari
sangat banyak ilmu yang dikuasainya, misalnya anatomi, fisika, mekanika seni
rupa dan lain sebagainya sehingga dijuluki polymath (orang yang menguasai berbagai
ilmu). Kemampuanya dalam berbagai banyak hal ini didukung oleh insting
berfikirnya yang memiliki kecenderungan divergen.
Dalam kajian – kajian kognitif
orang yang menggunakan intuisi dianggap memiliki usia mental yang lebih matang
dibanding menggunakan pengindraan. Kajian perkembangan kognisi Piglet misalnya
yang menganggap bahwa manusia ketika masih kecil belum bisa berfikir secara
abstrak. Namun ketika dia beranjak dewasa, biasanya sekitar umur 12 tahun,
manusia mulai mampu mengenali objek – objek secara abstrak dengan baik. ada
pula kajian kognitif yang mengatakan sekitar 85% kecerdasan umum(kemampuan
verbal, logika abstrak, matematik dan spasial keruangan) manusia disumbangkan
oleh faktor kepribadian N ini daripada faktor yang lain. Hal ini memberikan
kita sebenarnya gambaran bahwa imajinasi adalah kunci utama untuk menguasai
objek – objek yg bersifat abstrak. Problem yang muncul adalah, tidak semua
manusia memiliki kecenderungan untuk mengenali objeknya secara intuitif. Banyak
juga yang memiliki kecenderungan untuk menggunakan pengindraan dalam mengenali
objek. Lalu bagaimana solusinya agar lancar dalam pengajaran teoretik?
Peran Metafor dan Analogi dalam Mengenali Objek Abstrak
Dalam pengajaran teori,
orang yang bertipikal S umunya akan sulit memahami, karena kecenderungan cara
berfikir mereka yang menganggap realita umumnya didapat melalui pengindraan. Dalam
hal ini posisi seorang pengajar harus mampu mendefinisikan teori yang bersifat
abstrak kedalam analogi dan metafor yang bersifat bersifat kongkrit. Contohnya misalnya
penjelasan Enstein tentang gravitasi. Begitu mendengar nama Einstein, mungkin
pikiran kita akan terstigma bahwa teori Einstein ini pasti rumit. hal yang
rumit itu akan menjadi gampang dengan bantuan analogi dan metafor. Einstein
menjelaskan bahwa gravitasi adalah lengkungan dari dimensi 3 (ruang) dan 4
(waktu). Dalam pendefinisian gravitasi
Einstein tadi saya ambil contoh untuk menganalogikan dengan sesuatu yang
kongkrit. Misalnya ada sebuah bola bowling di tengah trampolin, dan ada
kelereng beberapa meter dari bola bowling itu. tentu kita berasumsi bahwa
permukaan trampolin akan cekung karena menahan berat bola bowling, sehingga
menarik kelereng yang ada di sekitarnya. Trampolin melengkung tadi adalah
analogi dari dimensi ruang dan waktu yang dianggap melengkung oleh Einstein. Sedangkan
bola bowling bisa diibaratkan masa suatu benda yang besar (contohnya matahari),
sedangkan kelereng adalah analogi dari masa yang lebih kecil (misalnya bumi). Hal
inilah yang dinamakan gaya tarik menarik atau gaya gravitasi. Ini menjelaskan pula
kenapa kita tidak jatuh pada permukaan bumi yang bulat. Hal ini terjadi karena
bumi menarik kita.
Dalam kasus diatas kita
bisa melihat bahwa pendefinisian teori Einstein yang abstrak dapat
didefinisikan secara kongkrit sehingga pemahaman ini dapat dipahami oleh
tipikal jenis manusia N maupun S. Penganalogian teori menjadi bola bowling,
trampolin dan kelereng yang objeknya dapat ditangkap melalui alat indra
memudahkan kita untuk mengimajinasikan bagaimana sebuah gravitasi bekerja. Dengan
penggunaan metafor dan analog ini seharusnya problem – problem kesulitan dalam
pengajaran teoritik seharusnya dapat diminimalisir. Hal yang perlu dilakukan
adalah membawa keseharian analogi dan metafor dalam setiap proses belajar
mengajar sehingga ilmu yang dipelajari lebih mudah tersampaikan.
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Depok, 14 Juni 2014
0 comments