I don't want a lot of things. I just want to invite you to think together!

Pages

Friday 17 October 2014

Perdebatan Mengenai Paradigma Ilmu Sosial

Umumnya kita mengenal tiga paradigma utama dalam menganalisis gejala keilmuan. Paradigma tersebut adalah positivis, interpretivis, dan kritis. Ketiganya menjadi pendekatan yang sangat dominan dalam studi – studi ilmu sosial. Perdebatan mengenai pendekatan mana yang paling baik terus menjadi perbincangan. ilmu – ilmu sosial yang mengambil jalan positivisme seperti ekonomi dan psikologi sudah meletakan dasar – dasar kerangka keilmuannya sejak pertama dibentuk. Ilmu seperti sosiologi pun awalnya didirikan oleh Auguste Comte sebagai fisika sosial, yang artinya memahami gejala – gejala sosial dengan memakai pendekatan yang sama dengan ilmu – ilmu alam. Menganggap manusia adalah realitas yang objektif dan bisa dicari pola – pola umumnya secara kuantitatif. Akan tetapi sejak kemunculan Max Weber yang mengenalkan  paradigma yang lebih interpretivis, yaitu melihat manusia sebagai gejala – gejala subyektif yang harus dimengerti secara hermeneutik, sosiologi mulai mengembangkan multiparadigma dalam metode – metode keilmuannya. Apalagi sejak pengaruh Karl Marx mulai masuk dan membentuk paradigma kritis.

Sebenarnya mana yang paling baik dalam menjelaskan gejala – gejala sosial? Apakah kita harus menggunakan metode – metode positivis, interpretif, atau kritis? Jawabannya adalah anda mau mendekati masyarakat dari sisi mananya? Jika anda ingin menghasilkan teori – teori yang bersifat umum, mampu diaplikasikan ke masyarakat pada umumnya/kontemporer anda seharusnya menggunakan metode – metode positivistik. Contohnya dalam ilmu psikologi. Psikologi mencoba mencari pola – pola umum yang ada di msayarakat. Misalnya dalam mencari standar ukur kecerdasan, mereka menggunakan metode tes IQ yang bisa diterapkan ke masayarakat kontemporer pada umumnya. Karena mereka memang memiliki kaidah – kaidah keilmuan nomotetik yang artinya mencari pola – pola umum yang berlaku di masyarakat. Mengenai hal – hal yang bersifat khusus, memang itu kelemahan mereka. Mereka tidak bisa menerapkan tes IQ di masyarakat terpencil di sebuah pulau karena perbedaan peta – peta kognitif dengan masyarakat pada umumnya. Atau misalnya dalam psikotes ada soal tentang kereta api, bagaimana masyarakat terpencil tersebut memahami kereta api, sedangkan mereka tidak pernah melihat benda tersebut? 

Dari kendala itu, munculah interpretivisme sebagai kritik positivis yang beranggapan bahwa suatu realitas sosail adalah unik. dimana bukan pole – pola umum yang kita cari, tetapi pemahaman terhadap suatu kebudayaan yang bersifat partikuler dengan pendekatan – pendekatan yang lebih bersifat hermeneutik dan fenomenologis. Kita menganggap bahwa peta kognitif manusia satu dengan yang lainnya berbeda sehingga jika kita mengkaji suatu masyarakat kita harus memahami dari sudut pandang dari subyek yang diteliti tersebut. Hasil dari paradigma ini lebih bersifat deskriptif, dimana kita melukiskan keadaan masyarakat dikaitkan dengan pemahamannya terhadap kosmologisnya sendiri. Namun jika tugas ilmuan hanya mendeskripsikan suatu gejala bagaimana kita bisa melihat ada suatu kesalahan di masyarakat tersebut? Bagaimana kita bisa melihat bahwa masyarakat tersebut dieksploitasi oleh suatu kekuasaan?

Disinilah pendekatan kritis mulai muncul sebagai alternatif yang melihat masyarakat sebagai suatu gejala sosial yang mengalami “false consciousness.” Mereka secara tidak sadar diekloitasi oleh pihak – pihak yang berkuasa. Dan tugas peneliti disini tidak hanya menjelaskan fenomena tersebut, tetapi membantu masyarakat dalam memperjuangkan hak – haknya.  Dari paradigma ini mengapa kita tahu dalam ilmu komunikasi, media, atupun jurnalistik biasanya dianjurkan untuk memakai paradigma ini karena tugas jurnalis memang mengungkap kesalahan – kesalahan yang dilakukan oleh pihak penguasa. Tentu lucu juga jika jurnalis menggunakan metode interpretivis untuk memahami gejala ekploitasi, tentu hal ini akan malah memeprkuat dogma penguasa tersebut.

Hal yang sebenarnya ironi adalah kurangnya pemahaman para akademisi dalam pengertian paradigma – paradigma tersebut. Kecenderungan disiplin ilmu sekarang hanya mencoba untuk tetap setia pada paradigmanya masing – masing tanpa mau mempertimbangkan gejala sosial yang akan mereka teliti. Misalnya dalam ilmu pskiologi yang sangat postivis atau antropologi yang interpretif. Dalam kasus antropologi misalnya. Antropologi susah dikembangkan ke ilmu praktis menurut saya karena mereka menghindari paradigma positivis.  Ketika kita memakai metode positivis tentu kita akan mendapatkan pola – pola umum dari gejala sosial, dan kita dapat menjelaskannya juga dengan penjelasan kausal. Jika pola – pola umum dari gejala sosial ini terindentifikasi, maka peneliti bisa merumuskan suatu metode yang bisa diterapkan ke seluruh masyarakat pada umumnya. Contohnya tes IQ dalam ilmu psikologi sebagai tolak ukur kecerdasan dalam masyarakat kontemporer. Ataupun ilmu fisika yang berhasil mengembangkan mekanika gerak yang diterapkan banyak di bidang transportasi, ataupun gelombang elktromagnetik yang berhasil dikembangkan dalam pengembangan komunikasi.

Pada dasarnya keilmuan dapat dibagi menjadi dua sub bagian besar, yaitu ilmu – ilmu scientific yang mengembangkan teori dan ilmu praktis yang mencari kaidah praktisnya. Dalam ilmu alam, fisika adalah ilmu teorinya, ketika mereka ingin mencari metode praktis dari suatu teori tersebut kita berpaling pada teknik yang berusaha untuk menerapkan teori – teori yang diciptakan oleh ilmu fisika. Hal tersebut adalah contoh kebermanfaatan dalam metode positivis. Pada kesimpulanya jika kita ingin mencari metode praktis yang umum kita harus menggunakan positivis sebagai kerangka berpikir. Ketika kita ingin melihat gejala sosial yang partikuler kita harus muncul dengan interpretif, dan ketika dihadapkan dengan masalah – masalah konflik, kita harus berpaling pada paradigma kritis.  Jangan terpaku dengan satu pendekatan! Ingat kita tidak akan pernah bisa menjelaskan apa – apa, kita hanya bisa “mendekati” gejala/realitas yang ada. Itulah mengapa istilah keilmuan tidak menggunakan kata “penjelasan” namun “pendekatan”.

Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Angkringan Intelektual
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top