I don't want a lot of things. I just want to invite you to think together!

Pages

Tuesday 7 May 2013

Seni : Sebuah Hura – Hura Pesta Ataukah Pengabdian Masyarakat?


Perdebatan mengenai ‘seni untuk seni’ dan ‘seni untuk masyarakat’ sudah ada sejak dahulu kala. Pandangan ini telah ada sejak jaman Horatius (65 – 8 SM).  Pandangan ini mengacu pada kedua kutub, di satu sisi menganggap seni sebagai sesuatu keindahan murni yang tidak boleh dicampur dengan unsur lain (politik, moral, budaya dll), ataukah seni yang memiliki pesan yang terkandung didalamnya untuk memberi manfaat kepada khalayak umum. Horatius adalah penyair lirik pada zaman kekaisaran romawi. Menurut Horatius seni harus memberi kenikmatan sekaligus berguna dalam kehidupan manusia (utile dulce). Pokok pikiran Horatius ini kemudian dikenal dengan semboyan dulce et utile (indah dan berguna) dalam setiap karya seni yang baik. dari sinilah kita mulai tahu dimensi seni yang lain yaitu sebagai social movement.

Awal dari pemikiran seni sebagai gerakan sosial adalah ketika seni sudah mulai dianggap tidak memiliki nilai moral. Tanda – tanda ini mulai menguat ketika para intelektual menganggap seni tidak memiliki nilai guna selain untuk sarana rekreasi dan hura - hura. Seperti yang kita tahu perfilman di Indonesia di tahun 1950-an sangat anti dengan hal – hal yang menjurus ke perilaku seksual, misalnya ciuman yang dianggap tabu dan memberikan dampak buruk terhadap penontonnya. Akan tetapi pada awal tahun 1970-an terjadi perubahan paradigma tentang ciuman yang dianggap sebagai hal yang sudah wajar dan biasa. Ini tidak lepas dari andil dunia perfilman yang terus membombardir mindset/overload information  kepadan para penonton untuk menganggap ciuman sebagai sesuatu yang sudah biasa.  Hal ini tentu memperlihatkan media perfilman sebagai cabang dari seni yang mulai mengajarkan hal yang mengancam degradasi moral bangsa. Mulai saat itulah seni diremehkan oleh para intelektual, karena seni yang disajikan sudah tidak indah dan bermanfaat (dulce et utile).

Dari contoh diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa seni adalah media propaganda yang luar biasa. Seni dapat menyempaikan suatu hal tanpa paksaan (koersif). Seni lebih memberikan pendekatan yang langsung mengarah ke mindset, yang pada akhirnya bisa merubah cara pandang kita secara normatif (tanpa paksaan, melekat kuat berdasarkan keinginan sendiri). Coba kita renungkan jika seni digunakan sebagai gerakan sosial, pasti akan menjadi sesuatu hal yang luar biasa dahsyatnya. Jika seni digunakan untuk pendidikan, alangkah banyaknya warga kita yang berpendidikan. Jika seni digunakan sebagai sarana dakwah agama,alangkah banyaknya seorang yang bermoral dan taat beragama. Jika seni digunakan untuk memberikan wadah motivasi dan inspirasi, alngkah banyaknya nanti teman – teman kita yang sukses. Itulah kedahsyatan dari seni sebagai gerakan sosial, gerakan yang tak pernah memaksa untuk pengikutnya bergerak, tetapi dapat menggerakan keinginan pengikutnya untuk bergerak dari dalam diri sendiri. 

Dalam dunia filsafat terdapat dua kutub pemikiran tentang suatu nilai, yaitu nilai universal dan nilai kontekstual. Di dalam nilai universal yang terdapat adalalah nilai intrinsik seni, yaitu estetika/keindahan. Nilai universal adalah nilai yang semua orang bisa memaknainya sebagai suatu keindahan. Misalnya  pemandangan alam, semua orang di dunia ketika ditanya tentang keindahan alam mereka akan mengatakan pemandangan itu indah. Semua orang tahu akan keindahan itu. tetapi orang tak pernah tau apa “makna” keindahan pemandangan tersebut karena pemandangan tidak memiliki nilai ekstrinsik (pesan yang akan disampaikan dari suatu karya seni). Hal ini tentu berbeda dengan nilai kontekstual yang menekankan pada unsur ektrinsik (mengedepankan makna/pesan yang terkandung daripada keindahan). Nilai kontekstual selalu memiliki pesan yang akan disampaikan. Berbeda dengan nilai universal yang banyak dianut oleh seniman, nilai kontekstual adalah nilai yang dianut oleh hampir semua intelektual.

Sebenarnya kita tidak harus memilih dari salah satu nilai tersebut. Kita dapat menggabungkan kedua nilai tersebut dalam suatu sajian seni. W.S. Rendra adalah salah satu seniman yang memakai kedua sistem nilai tersebut. Dia membuat puisinya dengan indah akan tetapi penuh akan makna/pesan yang disampaikan. Puisinya tidak jarang mengandung unsur politik, sosial dan budaya. Dia menggunakan seni sebagai wadah kritik sosial atas pemerintah, tentu tanpa menghilangkan keindahan diksi puisi tersebut. Salah satu puisinya bahkan secara terang terangan menerangkan tentang kehidupan pelacur yang menjadi budak para pejabat. Puisi – puisi lainnya juga semuanya mempunyai unsur ektrinsik yang membangun. Puisi – puisinya seperti “sajak orang lapar, sajak rajawali, sajak pertemuan mahasiswa” semua adalah suatu nilai seni universal yang kaya akan pesan.

Beberapa uraian diatas hanyalah merupakan sebuah pemikiran tentang seni dalam dimensi yang berbeda. Dari W.S. Rendra kita tahu bahwa seni adalah media multifungsional. Sebuah media yang mampu mnyampaikan beberapa fungsi selain keindahan. Jika seni bisa memberikan 10 manfaat apakah kita tetap lantas idealis dengan prinsip kita bahwa seni hanyalah untuk keindahan semata? Apakah kita tetap pada seni yang fungsional (seni adalah seni/keindahan) ataukah kita mulai merubah paradigma kita sebagai seni yag multifungsional (seni adalah masyarakat/gerakan sosial) ? saya yakin hati kecil anda akan lebih memilih yang mendatangkan manfaat. 


Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Depok, 7 Mei 2013 

Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© Angkringan Intelektual
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top