Perdebatan
mengenai ‘seni untuk seni’ dan ‘seni untuk masyarakat’ sudah ada sejak dahulu
kala. Pandangan ini telah ada sejak jaman Horatius (65 – 8 SM). Pandangan ini mengacu pada kedua kutub, di
satu sisi menganggap seni sebagai sesuatu keindahan murni yang tidak boleh
dicampur dengan unsur lain (politik, moral, budaya dll), ataukah seni yang memiliki
pesan yang terkandung didalamnya untuk memberi manfaat kepada khalayak umum.
Horatius adalah penyair lirik pada zaman kekaisaran romawi. Menurut Horatius
seni harus memberi kenikmatan sekaligus berguna dalam kehidupan manusia (utile dulce). Pokok pikiran Horatius ini
kemudian dikenal dengan semboyan dulce et
utile (indah dan berguna) dalam setiap karya seni yang baik. dari sinilah
kita mulai tahu dimensi seni yang lain yaitu sebagai social movement.
Awal dari
pemikiran seni sebagai gerakan sosial adalah ketika seni sudah mulai dianggap
tidak memiliki nilai moral. Tanda – tanda ini mulai menguat ketika para
intelektual menganggap seni tidak memiliki nilai guna selain untuk sarana
rekreasi dan hura - hura. Seperti yang kita tahu perfilman di Indonesia di
tahun 1950-an sangat anti dengan hal – hal yang menjurus ke perilaku seksual,
misalnya ciuman yang dianggap tabu dan memberikan dampak buruk terhadap
penontonnya. Akan tetapi pada awal tahun 1970-an terjadi perubahan paradigma
tentang ciuman yang dianggap sebagai hal yang sudah wajar dan biasa. Ini tidak
lepas dari andil dunia perfilman yang terus membombardir mindset/overload information kepadan para penonton untuk menganggap ciuman
sebagai sesuatu yang sudah biasa. Hal
ini tentu memperlihatkan media perfilman sebagai cabang dari seni yang mulai
mengajarkan hal yang mengancam degradasi moral bangsa. Mulai saat itulah seni
diremehkan oleh para intelektual, karena seni yang disajikan sudah tidak indah
dan bermanfaat (dulce et utile).
Dari contoh
diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa seni adalah media propaganda yang
luar biasa. Seni dapat menyempaikan suatu hal tanpa paksaan (koersif). Seni lebih memberikan
pendekatan yang langsung mengarah ke mindset, yang pada akhirnya bisa merubah
cara pandang kita secara normatif (tanpa
paksaan, melekat kuat berdasarkan keinginan sendiri). Coba kita renungkan jika
seni digunakan sebagai gerakan sosial, pasti akan menjadi sesuatu hal yang luar
biasa dahsyatnya. Jika seni digunakan untuk pendidikan, alangkah banyaknya
warga kita yang berpendidikan. Jika seni digunakan sebagai sarana dakwah
agama,alangkah banyaknya seorang yang bermoral dan taat beragama. Jika seni
digunakan untuk memberikan wadah motivasi dan inspirasi, alngkah banyaknya
nanti teman – teman kita yang sukses. Itulah kedahsyatan dari seni sebagai
gerakan sosial, gerakan yang tak pernah memaksa untuk pengikutnya bergerak,
tetapi dapat menggerakan keinginan pengikutnya untuk bergerak dari dalam diri
sendiri.
Dalam dunia
filsafat terdapat dua kutub pemikiran tentang suatu nilai, yaitu nilai
universal dan nilai kontekstual. Di dalam nilai universal yang terdapat
adalalah nilai intrinsik seni, yaitu estetika/keindahan. Nilai universal adalah
nilai yang semua orang bisa memaknainya sebagai suatu keindahan. Misalnya pemandangan alam, semua orang di dunia ketika
ditanya tentang keindahan alam mereka akan mengatakan pemandangan itu indah.
Semua orang tahu akan keindahan itu. tetapi orang tak pernah tau apa “makna” keindahan
pemandangan tersebut karena pemandangan tidak memiliki nilai ekstrinsik (pesan
yang akan disampaikan dari suatu karya seni). Hal ini tentu berbeda dengan
nilai kontekstual yang menekankan pada unsur ektrinsik (mengedepankan
makna/pesan yang terkandung daripada keindahan). Nilai kontekstual selalu
memiliki pesan yang akan disampaikan. Berbeda dengan nilai universal yang
banyak dianut oleh seniman, nilai kontekstual adalah nilai yang dianut oleh
hampir semua intelektual.
Sebenarnya
kita tidak harus memilih dari salah satu nilai tersebut. Kita dapat
menggabungkan kedua nilai tersebut dalam suatu sajian seni. W.S. Rendra adalah
salah satu seniman yang memakai kedua sistem nilai tersebut. Dia membuat
puisinya dengan indah akan tetapi penuh akan makna/pesan yang disampaikan.
Puisinya tidak jarang mengandung unsur politik, sosial dan budaya. Dia
menggunakan seni sebagai wadah kritik sosial atas pemerintah, tentu tanpa
menghilangkan keindahan diksi puisi tersebut. Salah satu puisinya bahkan secara
terang terangan menerangkan tentang kehidupan pelacur yang menjadi budak para
pejabat. Puisi – puisi lainnya juga semuanya mempunyai unsur ektrinsik yang membangun.
Puisi – puisinya seperti “sajak orang lapar, sajak rajawali, sajak pertemuan
mahasiswa” semua adalah suatu nilai seni universal yang kaya akan pesan.
Beberapa
uraian diatas hanyalah merupakan sebuah pemikiran tentang seni dalam dimensi
yang berbeda. Dari W.S. Rendra kita tahu bahwa seni adalah media
multifungsional. Sebuah media yang mampu mnyampaikan beberapa fungsi selain
keindahan. Jika seni bisa memberikan 10 manfaat apakah kita tetap lantas
idealis dengan prinsip kita bahwa seni hanyalah untuk keindahan semata? Apakah
kita tetap pada seni yang fungsional (seni adalah seni/keindahan) ataukah kita
mulai merubah paradigma kita sebagai seni yag multifungsional (seni adalah
masyarakat/gerakan sosial) ? saya yakin hati kecil anda akan lebih memilih yang
mendatangkan manfaat.
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
Depok, 7 Mei 2013
0 comments